Rambong Payong kecamaran Peusangan Siblah Krueng adalah sebuah gampong lokasi pelaksanaan KKM Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) Angkatan V yang baru saja berakhir.
Pengabdian yang dilaksanakan selama satu bulan tersebut
telah mengukir sebuah cerita, bagi mahasiswa peserta KKM Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) Bireuen.
Dalam kisahnya mahasiswa Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) telah menorehkan sejumlah coretan untuk dijadikan kenangan abadi bagi mereka.
Mereka melaksanakan pengabdian dalam kemasan KKM , telah melangkah pasti dengan mengayunkan kaki harapan untuk mengapai masa depan.
Langkah mereka bukan sekadar mencari tugas, melainkan untuk memberi makna dalam jiwa pengabdian demi mengapai cita-cita.
Perjuangan merangkai asa di setiap sudut gampong Rambong Payong bertujuan menyirami janji KKM yang dibungkus dengan balutan 4 SKS di atas tanah pengabdian.
Dari gampong Rambong Payong, sebuah panggilan tulus terucap, "Abi-Ummi", yang menjelma menjadi cinta takkan lekang oleh sepi dan gundah.
Ucapan ini bukan hanya tentang sebuah pengabdian, melainkan kisah tentang hati yang menemukan inspirasi pada tujuan KKM.
Di Rambong Payong, gampong yang sunyi dan sepi, bukan penghalang tumbuhnya benih-benih cinta pengabdian dari hati yang tulus.
Selama satu bulan mereka berada di pelosok Rambong Payong kecamatan Peusangan Siblah Krueng, untuk mengabdikan diri dalam program KKM bukanlah waktu yang lama di hitung hari perhari.
Di gampong tersebut mereka aktip mencari inspirasi melahirkan cerita ala "roller coaster".
Di Rambong Payong peserta KKM UNIKI Angkatan kelima, sempat mengukir kenangan penuh tawa, lelah bahkan kesedihan dengan deraian air mata.
Mereka hadir ke pelosok gampong tersebut untuk mengabdi, dengan deretan tumpukan program kerja dan laporan, tetapi itu merupakan bumbu penyedap bagi jiwa yang kasmaran.
Makanya satu bulan itu, tak lebih dari satu babak drama, di mana takdir mempertemukan mereka pada cinta. Bukan cinta yang dicari melainkan cinta yang terselip secara diam-diam di sela waktu, antara kisah kasih pengabdian.
Di tanah Rambong Payong, cinta itu tumbuh subur, menjadi kenangan manis dan cerita tak akan terlupakan. Kini, mereka baru tahu makna KKM sesungguhnya, tentunya tentang kisah dan kasih yang lahir dari sanubari dan rahim pengabdian KKM.
Di Rambong Payong, di mana dedaunan menjadi saksi bisu, sebuah mahkota cinta disematkan pada Alkamil Arizani sebuah nama penuh kesempurnaan, dan tenan-temanya sering memanggil Kamil.
Kamil melangkah, memikul amanah di pundak dan memimpin barisan kelompok KKM. Dia bertanggung jawab, setiap jalur dan proker pengabdian. Ia membangun benteng dari tugas-tugas yang menjulang, dan tidak menyisakan celah untuk hal yang tak terduga tentang cinta di tanah pengabdian.
Kamil mengemban tugas dan memimpin asa, tak menyangka ada cinta yang akan menyelinap di antara tumpukan kewajiban.
Kamil tak menyangka, bahwa cinta tak pernah meminta izin. Ia datang bukan sebagai tamu yang mengetuk pintu, melainkan sebagai akar yang diam-diam merambat, menembus sela-sela batin Wahyuni salah seorang peserta KKM dari kelompok sebelah.
Di sudut hati yang tak bersuara, Wahyuni menjelma jadi pemiliknya. Gadis dari Desa Tepin Raya itu, hadir hanya dipisahkan satu desa, dengan pencuri cinta yang datang mencuri dalam diam.
Pertemuan mereka, sungguh sederhana. Sebatas obrolan singkat di posko KKM Blang Cirih. Kata-kata yang terucappun tak istimewa. Namun, bagi Kamil, momen itu adalah awal dari sebuah perjuangan di ladang pengabdian.
Di balik kesederhanaan pertemuan itu, terukir sebuah janji hati yang tak terucap, sebuah perjalanan panjang untuk kesuksesan program KKM baru saja dimulai.
Obrolan itu pun tak lagi sekadar canda, perlahan merambat jadi tawa, lalu berubah menjadi ungkapan yang membuat hati terasa nyaman.
Perlahan, Kamil sang ketua merangkai siasat, menjalin alasan-alasan kecil hanya untuk bertemu. Dengan dalih survei yang seharusnya singkat, ia rela mengukir jejak hingga hampir dua jam, sebab satu-satunya tujuan adalah bertemu Wahyuni.
Kamil pun sadar, makna KKM baginya bukan lagi tentang laporan, melainkan tentang menunggu, menanti kapan ia bisa bertemu gadis dari desa sebelah.
Dalam setiap langkah dan kata, terselip sebuah harapan, menunggu momen di mana waktu seolah berhenti, detak jantung mulai sedikit bergerak pelan, yang ada hanya harapan untuk sebuah tatapan mata dan sungingan senyum tipisnya.
Di bawah nama "survei," Kamil melangkah, konon hanya lima belas menit. Jalan menuju Blang Cirih, setiap langkahnya terasa terikat. Namun waktu berkhianat, mengulur hampir dua jam lamanya, karena satu-satunya nama yang di survei hanya Wahyuni.
Di antara tumpukan laporan dan tugas KKM, tujuannya kini hanyalah menunggu. Menunggu senja di desa seberang, hanya demi bertemu Wahyuni gadis yang telah mencuri hatinya.
Satu bulan adalah perjalanan yang singkat untuk sebuah pengabdian KKM, namun selain itu KKM juga mampu menumbuhkan kisah tak terduga. Di antara tumpukan laporan dan program kerja KKM, kami menemukan arti dari sebuah pengabdian dan perjuangan.
Hati yang mengejar cinta, kesetiaan yang menembus jarak, dan kehangatan yang menemukan panggilannya sebagai "Abi" dan "Ummi".
Kami pulang dari desa, bukan hanya dengan setumpuk laporan dan selembar sertifikat, tetapi dengan sebuah babak baru dalam persaudaraan.
KKM bukan sekadar pengabdian, melainkan kanvas tempat hati melukiskan kisah pengabdian dan romantisme kisah cinta. Di sana, kami belajar bahwa makna sejati tak selalu ditemukan di dalam daftar tugas, melainkan di sudut-sudut tak terduga dalam setiap tawa, setiap sapa, dan setiap proker yang terbagi.
Kenangan-kenangan ini adalah bukti bahwa waktu seakan begitu singkat, namun jejak yang ditinggalkan di sanubari akan abadi.
KKM bukan lagi sekadar pengabdian, bukan hanya tumpukan laporan, tetapi lebih dari itu, KKM telah menjadi sebuah ruang yang mempertemukan dua hati jadi satu. Ia menjadi halte untuk menanti sebuah momen yang membuat waktu terasa begitu singkat.
Pengabdian telah melahirkan arti sebuah cinta diantara peserta, yang diam-diam bersemi dan menjadi alasan hati berdebar. Kadang KKM bukan lagi tentang pengabdian, bukan juga hanya tinggal bermasyarakat, melainkan juga pada perasaan yang tulus.
Di balik setiap program kerja, ada cerita unik yang terukir, di balik setiap langkah, ada jejak hati yang terpatri. KKM, akhirnya, adalah tentang menemukan makna di tempat yang tak terduga, di mana cinta, pengabdian, dan penantian menjadi satu hingga telah memaksa hati terus berdetak
Di tengah riuhnya kisah "cinlok" desa sebelah, ada satu cerita yang merangkai jarak. Namanya Khairizal, si pejuang cinta yang diam-diam menyemai rindu
Targetnya bukan gadis dari posko tetangga, melainkan Muna, kekasihnya yang berada di kecamatan lain. Mereka hadir ke lokasi KKM di bawah payung yang sama yaitu UNIKI namun tak satu kecamatan.
Setiap malam, saat rembulan menjadi saksi bisu, Ijal akan duduk di depan posko. Tangan di atas tumpukan laporan yang nyaris tak tersentuh, namun telinga dan hatinya sepenuhnya terfokus pada satu tujuan yaitu nyaringnya suara sidia.
Bagi Ijal, KKM selain pengabdian juga menjadi sebuah medan perjuangan hati. Baginya KKM juga sarana pembuktian kesetiaan dengan menembus batas kecamatan, lewat alunan suara Muna.
Setiap malam, dalam keheningan, ia menemukan cara untuk tetap dekat, jarak memang membentang dan terpisah sungai dan jembatan, tetapi hati dan telinga selalu terhubung, ke saluran online.
Ini tentunya membuktikan bahwa rindu bisa terobati hanya dengan mendengar, dan cinta bisa tetap utuh meskipun tak satu kecamatan dan KKM tetap sukses walau kadang hati bercabang tempat.
Dari semua kisah yang terukir, paling menyentuh hati dan membuat kami terdiam haru adalah cerita "Abi dan Ummi" kami, ujar Magfitsh salah seorang peserta KKM.
Maghfirah dengan nama panggilan "Makper", dan Bujairimi, disapa Bang Je. Di antara riuh dan canda, merekalah dua jiwa paling dewasa, yang bahu-membahu menopang kelompok ini.
Di antara riuh canda dan tawa, dua jiwa itulah yang menjadi jangkar bagi mereka yaitu : Makper dan Bang Je. Merekalah pilar yang menopang dan mengarahkan. Bang Je, bagai nakhoda yang tangguh, tak pernah kehilangan fokus dalam menahkodai setiap langkah dan rencana. Dialah kompas yang membawa mereka pada tujuan.
Sementara Makper, dengan sabar dan telaten, mengurus setiap keperluan anak-anak desa, menebarkan kehangatan seorang ibu. Kisah mereka bukan tentang cinta yang meledak-ledak, melainkan tentang cinta yang matang dan bertanggung jawab.
Itulah mengapa mereka menyebut mereka "Abi dan Ummi," karena dalam setiap langkah mereka, ada peran orang tua yang tak hanya mengabdi, tetapi juga mengayomi.
Dari semua kisah yang terukir, yang paling menyentuh hati dan membuat kami terdiam haru adalah cerita "Abi dan Ummi" kami.
Kisah mereka bukan tentang cinta yang meledak-ledak, melainkan tentang cinta yang matang dan bertanggung jawab.
Itulah mengapa kami menyebut mereka "Abi dan Ummi," karena dalam setiap langkah mereka, ada peran orang tua yang tak hanya mengabdi, tetapi juga mengayomi.
Abi, mau ke mana?" tanya Lena dan Rita, "Ummi enggak diajak?" "Ummi, enggak belikan untuk Abi?" Bahkan anak-anak desa pun ikut menggoda dengan polos, "Abi pergi sama Ummi, ya tadi?"
Itulah celoteh yang sering kami gaungkan untuk menumbuhkan semangat persaudaraan dan kekeluargaan di antara peserta KKM.
Dalam setiap sapaan konyol dan lucu itu, tersemat sebuah pengakuan tulus. Di sanalah, dalam dinamika yang penuh tawa, Maghfirah dan Bujairimi menemukan makna baru selama melaksanakan KKM.
Di tengah kehangatan itu, ada Juliana, si "bidadari" kami dengan sejuta pesona yang memikat hati. Ada Nurlena, yang paling ramah dan ceplas-ceplos, menyegarkan suasana dengan kejujurannya.
Rita Askia, kami sebut "model papan atas" dimana setiap pribadi adalah kepingan puzzle yang menyempurnakan cerita kami, membuat satu bulan di desa ini terasa seperti selamanya penuh makna dan kenangan.
Panggilan itu bukan sekadar lelucon, melainkan cerminan dari peran yang mereka jalankan: sosok dewasa, sabar, dan penuh tanggung jawab yang tak hanya mengabdi, tetapi juga mengayomi, selayaknya orang tua.
Di posko, panggilan "Abi" dan "Ummi" bukan sekadar julukan, melainkan cerminan dari hati yang tulus. Bang Je yang selalu penuh perhatian dan Makper yang tak pernah lelah menyuapi, membuat kami merasa seperti keluarga. Tindakan-tindakan kecil mereka mematri peran sebagai orang tua yang mengayomi kami semua.
Tentu setiap insan adalah seniman yang mengukir lukisan kehidupan. Rita, dengan keanggunannya, menari di antara keindahan pengabdian di lokasi KKM. Ditambah Zia dan Ijal sahabat kompak kami yang dengan persahabatan erat, telah melahirkan cerminan dari harmoni.
Setiap kepingan adalah karya agung yang menyatu, mengabadikan satu bulan dalam bingkai kenangan, membuatnya terasa selamanya.
Kami pulang dari desa, bukan hanya dengan sertifikat pengabdian, melainkan hadirnya babak baru dalam kehidupan yang penuh kebersamaan, kekeluargaan dan persahabatan.
Kepingan kenangan manis yang membuktikan bahwa KKM bukan hanya tentang tugas dan kewajiban, tapi juga tentang ketulusan dalam menemukan cerita dan kenangan di sudut-sudut yang tak pernah kami duga, serta menemukan makna dalam setiap detik yang kami habiskan selama mengabdi di lokasi KKM.