Di saat fajar mulai memerah, mentari baru menyapa, angin sepoi sedang menghindar, sebuah perjalanan dimulai. Kami, mahasiswa Universitas Almuslim (Umuslim), bergegas menyambut takdir pengabdian dalam nuansa Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) Angkatan XXVII Tahun Akademik 2024/2025 di Kecamatan Peusangan Selatan.
Untuk kegiatan itu, takdir membimbing langkah mereka ke sebuah kampung bernama Blang Mane. Kampung tersebut merupakan kampung paling ujung di sudut Peusangan Selatan.
Kampung itulah yang menjadi gerbang bagi mahasiswa Umuslim untuk melakukan pengabdian demi mengapai sebuah harapan dan meraih cita-cita.
Rangkaian acara secara resmi dimulai pelepasan peserta menuju lokasi pengabdian dilakukan Kamis, 31 Juli 2025, bertempat dihalaman belakang kantor Bupati Bireuen.
Rombongan peserta KKM Universitas Almuslim (Umuslim) Bireuen Angkatan XXVII Tahun Akademik 2024/2025 berjumlah 94 mahasiswa diterjunkan untuk melaksanakan Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) di empat gampong dalam Kecamatan Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen.
Penyerahan peserta KKM dilakukan Plt. Rektor Umuslim, Dr. Sonny M. Ikhsan Mangkuwinata, S.E., M.Si kepada Wakil Bupati Bireuen, Ir. H. Razuardi, MT. Selanjutnya diteruskan kepada Camat Peusangan Selatan, Saifuddin, SKM untuk ditempatkan di empat kampung dalam kecamatan tersebut.
Pagi itu, dibawah payung langit yang cerah, seolah mencerminkan semangat pengabdian mahasiswa yang membara di dada. Sinar mentari cerah pagi itu telah menghangatkan kulit kerisauan dan kecemasan. Sinar itulah yang mengingatkan peserta pada janji dan pesan dari pembekalan yang harus ditepati, yaitu semangat memberi yang terbaik dalam setiap program pengabdian KKM.
Di halaman kantor Bupati Bireuen, di bawah terik yang menyengat, mereka berbaris rapi, laksana bibit-bibit harapan yang siap ditanam di tanah gersang pengabdian.
Panasnya bukan halangan, melainkan vitamin yang menguatkan ujian kecil sebelum melangkah jauh menyelesaikan kuliah kami. Usai upacara, mereka bergegas menuju kantor camat Peusangan Selatan. Perjalanan singkat selama tiga puluh menit telah mengantarkan peserta ke jantung ibukota Kecamatan Peusangan Selatan.
Proses perjalanan mereka di lokasi pengabdian sempat terekam dari celoteh salah seorang peserta dengan ragam cerita dan pengalaman penuh kesan baik senang maupun sedih dan memori indah selama berada di lokasi KKM.
Nama saya Melisa Asni, mahasiswa jurusan Administrasi Bisnis Fisip, tahun ini mengikuti Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) di Kecamatan Peusangan Selatan.
Di kantor camat kami disambut acara seremonial sederhana, dimulai pengantar pidato dari kepala Divisi pengabdian LPPM Umuslim didampingi sejumlah pejabat kampus dan Dosen Pembimbing Lapngan (DPL) KKM.
Setelah itu Camat peusangan Selatan menyerahkan kami kepada kepala gampong yang telah berhadir. Keheningan mulai terasa saat tangan-tangan hangat dan senyuman persaudaraan dari wajah kepala desa, ada juga diwakili Sekdes menyambut kami. Setelah mendapat sedikit arahan dari DPL, bus pengantar membawa kami ke Blang Mane.
Di gampong Blang Mane di pinggir jalan desa, kami disambut pepohonan nan hijau dan lorong-lorong berbatu dan jalanan tanah yang menyimpan cerita.
Di sinilah semangat kekeluargaan dan persahabatan mulai tumbuh, bahu-membahu, kami mengangkut koper dan tas, melintasi jalanan yang tak bisa dilalui bus. Keringat dan tawa menjadi bumbu pertama dalam kisah ini.
Rumah sangat sederhana menjadi pondok sementara untuk mengukir persinggahan kami selama satu bulan. Pondok itulah tempat kami berlindung di bawah atap kasih sayang Umi, seorang perempuan paruh baya sang pemilik rumah.
Umi menyambut kami bak anak-anaknya sendiri, pondok itu dikelilingi pepohonan rindang dikelilingi keheningan sungai Krueng Peusangan, yang mengalirkan air kesejukan dari dataran tinggi Gayo.
Malam pertama di lokasi pengabdian, tak ada mimpi buruk dan mimpi indah yang menyusep dalam selimut kami. Yang ada hanya kecemasan akan program kerja (Proker) yang menanti. Namun, saat pagi hari kedua, datanglah secercah harapan membawa kehangatan kekeluargaan.
Pagi itu, kami membersihkan halaman, usai menyapu dengan berjalan kaki, kami berkeliling menelusuri setiap sudut kampung, bahkan sempat menyelusuri rute sampai batas kampung dengan kampung lain.
Disepanjang perjalanan, kami berkenalan dan bersilaturahmi dengan tetangga dan masyarakat gampong yang ramah penuh kekeluargaan.
Waktu begitu cepat berputar dan terus berlalu, minggu-minggu pertama kami di lokasi dipenuhi penuh nuansa program penyesuaian dan sialturahmi.
Di tengah perjalanan, saya Melisa Asni sempat menyerah, tubuh meronta, jantung sedikit berdetak lebih kencang dari biasanya, mengisyaratkan bahwa saya tidak sanggup lagi melangkah karena kelelahan.
Padahal misi perjalanan masih terbentang jauh kedepan dan terasa mustahil untuk dilanjutkan. Saat itulah, teman-teman menjadi pelabuhan dan sandaran bagi tubuh yang mulai lemas dan perut mulai mual-mual. Teman-teman menyarankan saya untuk kembali ke posko untuk beristirahat.
Teryata teman-teman tidak membiarkan saya berjalan sendiri, mereka tidak ingin kekompakan ini hilang terhempas sepoinya angin gunung Blang Mane dan derasnya air sugai Peusangan.
Untuk menjaga persahabatan dan kekompakan terus bersemi dilingkungan kelompok KKM Blang Mane, para anggota terus berusaha memberikan pertolongan. Teryata kekompakan terus teruji, pertolongan itu tetap kokoh tidak bisa terhempas oleh angin dan terkikis erosi kesetiaan.
Ditengah kepanikan, sebuah pertolongan sederhana terasa begitu berharga, itulah makna persahabatan adalah obat terbaik. Walaupun langkah saya berhenti, namun persahabatan terus berjalan, seiring agenda KKM.
Pertolongan pertama datang dari warga desa yang datang tanpa diminta, meminjamkan kenderaan agar saya bisa kembali ke posko untuk beristirahat.
Dikomandoi ketua kelompok dan ditemani beberapa "besti" anggota kelompok mengantar saya pulang. Mereka dengan sigap meminjamkan sepeda motor pada seorang warga yang sedang menikmati secangkir kopi disebuah warkop desa.
Malam-malam di Blang Mane menjadi saksi bisu kebersamaan dan persahabatan kami. Malamnya kami mengelar rapat program kerja. Rapat berlangsung dalam suasana kebersamaan diwarnai canda tawa.
Kemudian setiap harinya kami terus dipenuhi berbagai kegiatan, mulai sosialisasi di sekolah TK. Sehingga setiap pagi kami bisa menikmati senyuman kasih sayang anak-anak TK yang begitu polos dan belum terkontaminasi titipan dan pesan sponsor.
Ada seorang anak bernama Almaira yang sempat memukau hati kami disekolah tersebut. Ada haru, ada lelah, tetapi selalu ada tawa tersungging setiap sudut bibir munggilnya.
Kemudian kami juga melaksanakan proker di Sekolah Dasar (SD), kegiatan di SD, selain mengajarkan sejumlah proker, pengabdian tersebut juga telah mengajarkan kami arti kesabaran dan keikhlasan.
Pada tanggal 11 Agustus, jadwal menuju padi Gogo telah menanti, dalam kondisi yang masih belum sepenuhnya stabil, saya bergabung dengan teman-teman untuk terus bersemangat menjelajahi lahan kebun milik Almuslim.
Untuk menuju ke sana banyak tantangan menghadang, sesuai instruksi apapun tantangan dalam proses pengabdian ini, kami harus menjelajah kebun padi Gogo.
Melewati sejumlah jalan kampung dengan medan terjal, jalanan yang menanjak telah menguji ketahanan fisik dan adrenalin kami, apalagi kami rata-rata baru pertama sekali ke lokasi tersebut.
Tujuan kami ke lokasi untuk membantu petani yang sedang mengolah padi Gogo dan bergotong-royong mendirikan gubuk (rangkang).
Meski tubuh terasa lelah, setiap langkah di pagi itu adalah wujud pengabdian, kami berangkat dari posko menuju desa Darussalam. Pagi itu, kami tiba di Masjid desa Darussalam, sebuah titik temu yang menjadi start awal perjalanan menjelajah kebun Almuslim.
Saya bersama beberapa teman sempat sarapan, mengisi tenaga, sembari menunggu jemputan yang dijanjikan datang pukul 08.30. Wib, namun, waktu terus beranjak hingga jarum jam menunjuk angka 09.00 Wib, mobil penjemputan belum juga datang.
Tiba-tiba kami mendapatkan kabar dari teman kelompok lain, bahwasannya truk yang ingin menjemput kami tersangkut diatas gundukan gunung desa tersebut. Mendapat kabar tersebut hampir saja menunda harapan kami, kemudian tanpa aba-aba, entah dari mana ide muncul, kami memutuskan bersepakat untuk berjalan kaki.
Perlahan, langkah demi langkah, ditengah perjalanan, kami berharap keajaiban datang, agar truk itu bisa segera menyusul menjemput kami. Kami mulai berjalan kaki, jalan demi jalan kami lewati, tapi tidak ada tanda-tanda truk penjemputan tiba.
Jalan yang kami lalui seolah tak berujung, tenaga kami hampir habis, namun kami tetap melangkah, kami sempat beristirahat sejenak di sebuah rangkang milik petani.
Saat beristirahat, tenaga rasanya hampir habis, tapi anggota kelompok tetap melanjutkan perjalanan. Walau lelah, kami tak menyerah.
Perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai tujuan, tapi juga tentang menguji seberapa besar semangat kami.
Singkat cerita saat kami berjalan tiba-tiba truk yang menjemput kamipun muncul, akhirnya kami merasa lega. Kami menaiki truk itu dengan gembira, mengira perjuangan akan berakhir.
Namun, baru beberapa puluh meter truk berjalan, sesaat kemudian, truk berhenti. Abang supir menunjuk ke depan, "Hanya sampai di sini mobil bisa lewat, sisanya harus jalan."ungkap sang supir.
Kabar itu seperti mematahkan semangat yang baru saja tumbuh. Harapan yang baru saja mekar, kini harus layu. Mau tak mau, kamipun turun. Terpaksa, kami harus melangkah jalan kaki kembali, menyusuri jalanan yang dibalut tanah berwarna kuning.
Dengan langkah gontai, terpaksa kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Namun, betapa terkejutnya kami saat melihat jalur di depan. Sebuah tanjakan curam sangat menantang, untuk menanjak tentu pasti akan menguras energi yang hampir habis.
Tubuh yang masih belum pulih sempurna, kini harus menghadapi ujian berat, di sebuah gubuk, kami merebahkan lelah sejenak.
Namun, rehat singkat itu membuat kami tertinggal, rombongan yang lain telah jauh melangkah di depan. Dalam sepi, kami tetap melanjutkan, melangkah tertatih-tatih beriringan, di penghujung perjuangan, akhirnya kami juga bisa tiba di lokasi padi gogo.
Usai sudah lelah yang menumpuk dari perjalanan di lokasi padi Gogo. Keraguan dan kehangatan malam telah menjelma menjadi inspirasi dalam pengabdian. Saat malam tiba, kami mengikuti agenda mengaji di balai pengajian. Sejujurnya, tubuh ini masih meronta, memohon untuk beristirahat. Kaki terasa berat, namun hati berkata, "Pergi saja, sebentar saja." demi sebuah perjuangan dan pengabdian.
Saya ajak kawan yang sama-sama lelah, berharap bisa berbagi kehangatan malam di balai pengajian. Sayangnya, ia menolak, memilih untuk beristirahat demi untuk menyimpan energi untuk suksesnya sejumlah proker pada esok pagi. Ia meyakinkan saya, bahwa ia baik-baik saja di posko sendirian.
Saya pun mengerti, lalu bersama kawan-kawan yang lain, kami memutuskan untuk melangkah. Di balai pengajian sisa lelah seakan sirna. Kami bertemu adik-adik penuh gembira, malam itu kami habiskan mengajarkan mereka mengaji, merasakan damai yang tak terpatri di hati ini.
Suasana kegembiraan bersama anak-anak masyarakat di balai pengajian malam itu menjadi potret kebahagian yang tak tertara. Kami berbagi ilmu dan cerita bersama anak-anak kampung. Tanpa terduga tiba-tiba kami mendapat kabar mengejutkan, sehingga telah menghentikan aktivitas kami sejenak, kami mendapat info, seorang teman di posko jatuh sakit, bahkan mengalami kesurupan.
Sungguh kejadian yang telah membuat kegembiraan dan kebahagian kami, seakan sirna dan nadi kegembiraan terhenti secara tiba-tiba pada malam yang mulai agak sejuk tersebut.
Setelah malam yang penuh guncangan, esoknya datanglah keheningan menenangkan. Kami memutuskan beristirahat sejenak, membiarkan jiwa dan raga kembali pada kondisi normal. Sementara sebagian kawan telah berangkat, melanjutkan tugas proker di beberapa lokasi, sebagian dari kami memilih untuk tinggal di posko.
Menjelang siang, kawan yang sakit minta izin untuk diantar kepada orangtuanya. Tubuhnya belum pulih, seolah meminta kembali ke pelukan ortu untuk menyembuhkan luka rohani. Dengan hati yang penuh kepedulian, setelah mendapat izin dari perangkat gampong, saya dan seorang kawan mengiringi langkahnya untuk mengantar kawan kepada orang tuanya.
Setelah itu, malam kepanikan yang sedang menyelimuti kelompok kami, telah mengajarkan kami betapa eratnya ikatan persaudaraan dan persahabatan ini.
Hari berganti hari, tak terasa jarum arloji seakan begitu cepat berputar, sehingga meredupkan fajar yang telah menyingsing, membasuh sisa guncangan malam.
Pagi itu, kami biarkan jiwa dan raga memulihkan diri dalam keheningan. Sebagian kawan telah bergegas, melanjutkan tugas yang tak kenal lelah, namun kami memilih untuk tinggal di posko, memeluk jeda yang singkat.
Tak terasa, waktu berputar begitu cepat, hingga akhirnya kami tiba di penghujung waktu pengabdian. Dulu, kami selalu menghitung hari kapan perpisahan akan tiba, kini waktu itu terasa terlalu begitu singkat.
Malam itu, kami merangkai rencana untuk sebuah persembahan kecil, sebagai ucapan terima kasih kepada kampung pengabdian yang telah menumbuhkan benih-benih persahabatan dan persaudaraan. Di menit-menit akhir keberadaan kami yang akan terakhir, kami berkumpul di balai pengajian Darus Qudus untuk merangkai sebuah acara untuk kenangan terakhir.
Keputusan pun jatuh: malam perpisahan akan kami rayakan dengan bakar ikan dan pemutaran Video "After Movie KKM". Sebuah video yang menjadi saksi bisu perjalanan kami di gampong pengbadian Blang Mane.
Sore itu, di bawah langit yang mulai jingga, kesibukan menyelimuti kami. Tangan-tangan bergerak lincah, membagi tugas, ada bergegas membeli ikan, ada yang menyiapkan piring, mencincang bawang, menyiapkan kayu bakar sejumlah tugas lainnya.
Saya mendapat tugas memanen cabai di kebun pak Sekdes, selain itu dinobatkan saya sebagai pemandu acara pada malam perpisahan. Meski tanpa pengalaman, tanpa ragu saya mengiyakan. Hati membisikkan satu kata sebagai penguat: Bismillah.
Usai salat Magrib, alunan zikir yang merdu dan tenang mengalir setenang air krueng Peusangan, seolah menjadi penawar bagi hati dan pikiran yang mulai dirundung sendu.
Suaranya menggetarkan malam, meresap ke setiap sudut yang sebentar lagi akan menjadi kenangan.
Perpisahan digelar, acaranya sederhana namun penuh makna, alunan zikir telah menenangkan pikiran. Kami berbagi cerita, menukar tawa dan kenangan. Tawa dan senyum anak-anak desa menjadi bumbu menghangatkan suasana persaudaraan.
Dibantu tangan-tangan hangat ibu-ibu desa, kami menata setiap bisikan. Keharuan telah merambat, bahkan sebelum acara dimulai. Saya, sang pembawa acara, membuka malam itu dengan hati berdebar dan penuh rasa. Namun, puncaknya bukanlah pada kata-kata, melainkan saat layar mulai menyala.
Saat "After Movie KKM" diputar, air mata tak lagi terbendung. Di layar, setiap momen kebersamaan terjalin, seolah merangkai kembali kenangan yang paling indah. Hati kami pun luruh, menyadari betapa berharganya setiap detik yang telah kami lalui bersama. Momen itu mengajarkan, bahwa keberanian untuk memulai, meski tanpa pengalaman, bisa berujung pada kenangan yang tak ternilai dalam jumlah SKS.
Di layar, setiap momen hidup kembali, memutar ulang tawa dan lelah yang telah terlewati. Air mata yang jatuh di malam ini adalah bukti, betapa pertemuan ini adalah anugerah, dan perpisahan adalah konsekuensi yang harus diterima. Kami saling berpelukan, berpamitan dengan Umi dan seluruh warga kampung Blang Mane yang telah membuka hati mereka, menerima kami layaknya keluarga.
Dalam hati, kami sadar, bahwa walau raga berpisah, ikatan yang terjalin takkan pernah sirna, malam perpisahan yang dinanti sekaligus dihindari, akhirnya tiba.
Di tengah sorotan cahaya, setiap potongan kenangan sederhana terjalin kembali. Tawa, lelah, kebersamaan mengalir tanpa suara, membungkam setiap ruang sepi.
Malam itu menjadi saksi bisu, saat memori berbisik lebih keras dari segalanya. Ruangan itu mendadak sunyi, hanya isakan-isakan kecil yang mengalun lirih dari setiap insan yang hadir. Air mata yang menetes bukanlah air mata duka, melainkan kristal-kristal keindahan dari momen persaudaraan yang akan berakhir. Sebagian dari kami, tak mampu menahan haru yang begitu meluap. Usai video, kami berpelukan, memohon pamit dengan Umi dan para ibu yang telah bersama selama satu bulan.
Aliran air mata tak juga surut, seolah menolak akhir yang nyata. Sungguh ironi, hati yang dulu menghitung hari untuk kembali, kini memberat, enggan untuk pergi.
Alam perpisahan pun tiba. Dibantu ibu-ibu desa, kami menata segala persiapan. Suasana haru mulai terasa bahkan sebelum acara dimulai. Saya, sebagai MC, membuka acara dengan hati yang berdebar.
Namun, puncak dari segalanya adalah saat video "After Movie KKM" mulai diputar. Di layar, setiap potongan kenangan sederhana terjalin kembali. Tawa, lelah, dan kebersamaan yang terekam, membuat suasana menjadi sunyi.
Tak ada kata yang terucap, hanya isakan yang mulai terdengar. Air mata menetes, bukan karena kesedihan, melainkan karena keindahan momen yang akan segera berakhir. Saya, dan sebagian dari kami, tak mampu menahan haru.
Usai video, kami berpelukan, berpamitan dengan Umi dan para ibu yang telah membantu. Air mata itu terus mengalir, seakan sulit sekali mengakhiri semua ini. Ironis, padahal selama ini kami selalu menghitung hari kapan kami bisa kembali.
Seperti kata bijak yang tak lekang oleh waktu, di setiap pertemuan terselip sebuah perpisahan. Namun, perpisahan ini bukanlah akhir, melainkan gerbang menuju kenangan yang abadi.
Terima kasih, Blang Mane, telah menerima kami layaknya keluarga. Semoga apa yang telah kami tanam menjadi jejak kebaikan, tumbuh dan memberi manfaat bagi desa ini. Inilah akhir dari sebuah perjalanan. Namun, kisahnya abadi, tersimpan rapi di dalam hati.
Penutup Kisah
Inilah kisah kami, sebuah perjalanan yang kini abadi dalam bingkai kenangan sederhana. Semoga setiap langkah yang kami ukir, menjadi jejak kebaikan yang takkan pernah pudar.
Di bawah naungan langit Blang Mane, Terukir rasa syukur dalam sanubari.Terima kasih kepada setiap insan yang tulus hati, telah menjadi bagian dari kisah ini.
Terkhusus bagi Bapak Zulkifli, M.Kom, Sebagai Dosen Pembimbing Lapangan yang tak pernah lelah telah dalam membimbing dan menuntun sehingga suksesnya pelaksanaan pengabdian kami di Blang Mane.
Ilmu dan nasihatmu bagai pelita, menerangi jalan menuju cita-cita. Kau ajarkan kami tak hanya tentang proker, Namun juga tentang adab, etika, dan makna hidup serta pengabdian dalam masyarakat.
Tak lupa juga kepada kepala desa, sekdes, seluruh perangkatnya, juga pimpinan balai pengajian, Ibu-ibu PKK dan warga Blang Mane yang ramah dan bersahabat.Terima kasih atas penerimaan dan kebersamaan, yang telah menjadi kenangan perjalanan pengabdian kami.
Adapun kami yang mengabdi dalam program KKM angkatan XXVII di Blang Mane tahun 2025 adalah : Alwi Rizki Juanda (ketua Kelompok) Iskil Musfia, Sarah Amalia, Alia Balqis, Salsabila, Hidayatul Mursyidin, Melisa Asni, Alwi Rizki Juanda,Miqdad,Maiza Funna, Muhammad Rizki, Zaki Maulana, Muhammad Ridha, M.Iqbal Siddiq, Zaki Muaamar, Agustira, Siti Zuhra, Pahmi, Martunis, Cut Azizah, Raja mahfud Akbar, Wahyu Muliawan, Mohd Aqil Al Faraby, Muhammad Aqil, Wahyuni.
Semua mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita pengabdian KKM kami di Blang Mane. Semoga, benang silaturahmi ini takkan pernah putus, walau raga telah berpisah.
Semoga silaturahmi ini takkan pernah usai.