Suara Tambo, tradisi sambut lebaran mulai hilang

Dahulu  masyarakat khususnya di Aceh, untuk mengetahui jadi tidaknya hari raya atau menyambut datangnya hari  raya baik Idul Fitri maupyn Idul Adha  cukup hanya dengan mendengar suara  tambo (beduk) yang dibunyikan dari setiap meunasah (surau) atau mesjid.

Bagi masyarakat Aceh, Tambo selain populer saat menyambut tibanya  hari raya,  juga sering digunakan sebagai sarana penyampaian berbagai informasi, baik bersifat sosial maupun kemasyarakatan, seperti pemberitahuan gotong royong, adanya  rapat di meunasah, informasi kematian warga dan jiga mengumumkan berita penting   dan  berbagai informasi sosial lainnya.

Selain itu, suara  tambo (beduk) juga dijadikan  alat menyampaikan berbagai informasi seperti jadwal datangnya waktu sholat lima waktu.

Termasuk  informasi tentang  isyarat tanda jadi hari raya (Lebaran). Kemudian saat  bulan ramadan (Puasa), suara tambo digunakan sebagai tanda waktu berbuka puasa, sahur dan juga waktu  imsak.

Tambo atau beduk  dibuat dari  batang kayu besar,  misalnya sejenis pohon  enau (nira) ada juga terbuat dari  kayu besar bulat, kemudian ditengahnya dilubangi, selanjutnya bagian lubang ditutup dengan dilapisi kulit sapi yang dikencangkan.  


Untuk teknis pembuatan tambo, tukang harus jeli memilih jenis kayunya, karena kualitas suara tambo sangat dipengaruhi  jenis kayu dan kulit sapi yang digunakan. Hal ini agar  saat dipukul pada  kulit tersebut dapat menghasilkan bunyi suara yang nyaring dan bergema.

Saat ini, seiring perkembangan teknologi dalam kehidupan masyarakat Aceh, tradisi penyampaian informasi melalui  suara tambo, baik di kota, maupun di kampung-kampung, sudah mulai menghilang dalam kehidupan masyarakat Aceh. 

Padahal dulu, bagi masyarakat Aceh, khususnya yang tinggal di kampung-kampung, mendengar suara tambo pada malam hari raya (lebaran) menjadi satu tradisi kemetiahan dan kesemarakan dalam suasanamenyambut hari raya.

Budaya tersebut secara  turun menurun telah  mentradisi sebagai ungkapan  untuk menumpahkan kebahagiaan dan kemeriahan dalam  menyemarakkan penyambutan lebaran (hari raya), baik hari raya Idul fitri maupun Idul Adha.

Makanya tidak heran, apabila kita berkunjung ke setiap kampung di Aceh, kalau masih ada meunasah (surau) ataupun  mesjid di kampung-kampung,  suasana dan kondisinya masih mempertahankan nuansa tradisionil.

Seperti misalnya   masih mempertahankan suara kuno berupa suara yang dihasilkan dari tabuhan tambo sebagai alat informasi.

Baik untuk pemberitahuan waktu sholat maupun dalam menyemarakkan datangnya hari raya (Lebaran) . 

Saat ini masih ada juga meunasah atau mesjid yang masih menyimpan tambo tersebut, tetapi banyak hanya sebagai pajangan saja, tidak difungsikan lagi sebagai alat penyampaian informasi seperti dahulu. 

Mungkin ada juga, digunakan setahun sekali saat pawai takbiran hari raya keliling kota, tambo  dinaikkan dalam mobil atau alat transportasi, sebagai menyemarakkan pawai takbiran dan sebagai pelengkap pembukaan acara seremonial.

Karena dahulu di kampung-kampung saat menyambut datangnya hari raya, baik hari raya Idul fitri maupun Idul Adha, suara tambo sangat terasa meriah dan semarak.

Kalangan anak-anak masyarakat Aceh  saat menyambut lebaran tiba,  masih populer dengan lagu seperti ini : “Geudam geudum tambo ka dipeh,  tanda ka jadeh meu uroe raya” (Suara bedug sudah berbunyi tanda sudah jadi hari raya), itu nyanyian yang sering diucapkan kalangan anak-anak, bahkan sebagian orang dewasa saat hari raya tiba.

Selain itu, dulu juga banyak syair-syair dan pantun yang dilantunkan saat kebahagian menyambut lebaran “ Gedam Gedum Tambo di Peh tanda jadeh uroe raya, senang lam hate mebago aleh ban saboh Aceh ka meubahagia. Itu mengisahkan betapa bahagianya kita karena hari raya sudah tiba.

Peh tambo (pukul beduk), dilakukan  menggunakan dua tongkat pendek, tongkat ini dikenal sebagai go tambo (gagang tambo), terbuat dari kayu yang ringan dan kuat untuk menghasilkan bunyi yang diinginkan.

Seiring perkembangan teknologi,  gaung suara tambo saat menyambut hari raya dan nyanyian merdu hikayat yang keluar dari mulut   anak-anak tiap kampung di Aceh saat menyambut hari raya sekarang sudah mulai redup, bahkan sudah senyap sama sekali.
 
Hal ini tentu suasananya berbeda jauh dengan masa lalu, kalau dulu gema  hari raya begitu semarak karena  bertalu-talunya suara tambo, diiringi suara nyanyian khas hikayat  oleh orang dewasa , kemudian juga dituruti oleh anak-anak telah  memberikan rasa syahdunya  suasana dalam  membangkitkan semangat berhari raya dikalangan  masyarakat.

Saat ini semua nostalgia tersebut sudah berganti dengan berbagai informasi melalui teknologi internet dan tam..tauumnya suara mercon.

Dimasa suara tambo menjadi primadona sebagai alat informasi setiap kampung di Aceh, khususnya  saat menyemarakkan datangnya hari lebaran, masyarakat khususnya pemuda saat memasuki akhir ramadan, mulai mempermak atau memperbaiki tambo yang ada disetiap meunasah ataupun mesjid di tingkat kemukiman sebagai persiapan menyambut pemukulan tambo (beduk) pada malam lebaran tiba.

Puncaknya biasanya  saat malam akhir ramadan, tepatnya  malam hari raya baik Idul fitri maupun Idul Adha, pemukulan beduk  atau peh tambo di mulai sesudah shalat Isya dan berakhir  sampai waktu shalat hari raya. 

Suara geudam… geudum, suara tambo sebagai alat menyampaikan berbagai informasi di tengah masyarakat, sekarang sudah berganti dengan hadirnya  berbagai stasion televisi ataupun flatform media sosial, juga berbagai jenis dan bunyi mercon yang moderen.

Kini suara tambo yang dialunkan  dari setiap sudut meunasah atau mesjid hanya tinggal kenangan. 

Penggunaan tambo sebagai alat informasi benar-benar meredup bahkan boleh dikatakan sudah punah. Bahkan di kalangan anak-anak, khususnya generasi Gen Alfa, suara tambo malam hari raya sudah  menjadi cerita donggeng.
 
Padahal dahulu masyarakat saat mendengar suara tambo (bedug) berbunyi, “(Gedang-gedum bunyi tambo, yang menandakan hari raya telah tiba)”, tampak jelas terasa wajah gembira di wajah masyarakat dalam menyambut hari raya, baik Idul fitri maupun Idul Adha.

Pada hari raya, tambo dipukul mulai malam hari raya, setelah shalat Isya dan terus berlanjut hingga sore hari. Saat ini, tradisi memukul tambo pada malam hari raya jarang dilakukan kecuali pada acara pawai takbir.

Agar tidak menjadi cerita donggeng, tradisi penggunaan alat musik  tradisionil tambo yang telah menjadi tradisi turun temurun saat  menyambut hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha  di Aceh, Peh Tambo harus tetap  dilestarikan agar tetap menjadi simbol penting dari warisan budaya Aceh untuk generasi yang akan datang.

Tradisi lain, suasana berhari raya di Aceh hingga hari ini masih kental,  yaitu  saling membangun bersilaturahim, kunjung mengunjung antara kerabat dan tetangga,  saling menyapa, mengunjungi rumah keluarga, guru, handai taulan dan lainnya untuk saling bermaaf-maafan. 

Yang tak kalah pentingnya lagi bagi masyarakat Aceh dalam menyambut hari raya, sajian kue  “Timphan”  merupakan menu hidangan wajib setiap rumah tangga saat menyambut uroe raya, sebagai sajian untuk tamu yang berkunjung ke rumah saat lebaran.

Timphan sejenis makanan lembek berbalut daun pisang muda yang  dibuat 1 atau 2 hari sebelum lebaran dan daya tahannya bisa mencapai lebih kurang seminggu. 

Makanya dalam masyarakat Aceh ada ungkapan : "Jadeh neuk woe uroe raya nyou, ? Mak teungoeh peuget timphan. Menye jadeh neuk woe, Mak Peuget beu leubeh".

Artinya: Apa jadi ananda kamu pulang dari perantauan lebaran ini,? Ibu sekarang lagi bikin timphan, kalau jadi pulang, nanti akan ibu buat  lebih Timphannya. Itulah seakan begitu bermaknanya kue tersebut Timphan, apalagi dibuat secara khusus oleh orang tua yang kita cintai.

Khusus untuk pengantin baru yang bertamu kesetiap rumah keluarga atau saudara, mereka akan mendapat salam tempel uroe raya berupa uang (Tumutuuk) dari mertua atau keluarga dekatnya sebagai sambutan sembahnya. 

Begitulah tradisi Aceh, penuh kekeluargaan, kekerabatan dengan romantika dan persaudaraan, saat menyambut, merayakan  dan memuliakan  Hari Raya.