"Makmeugang" Antara Tradisi dan Gengsi



 Oleh : Zulkifli, M.Kom

Meugang dalam bahasa Aceh disebut Makmeugang, atau Uroe Mak Meugang, kegiatan ini diawali pemotongan sapi, kerbau ataupun kambing dalam jumlah banyak, kemudian masyarakat membeli daging sesuai kemampuan dan mengolahnya dengan memasak aneka menu untuk disantap bersama keluarganya.

Tradisi Makmeugang juga dimaknai  sebagian besar masyarakat sebagai sebuah pembuktian diri dan harga diri.  

Seorang pria sebagai kepala rumah tangga, pada hari meugang harus mampu membawa pulang daging kerumah walau hanya setengah kilogram sebagai bukti tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga.

Bagi masyarakat Aceh, apabila ada orang mampu dan pejabat tidak membawa pulang daging pada hari meugang, maka jatuhlah  marwah dan wibawanya.

Kalau pada  hari biasa masyarakat Aceh hanya  menikmati makanan/ikan dari sungai maupun laut, pada  hari meugang, mampu atau tidak mampu harus ada memasak daging untuk disantapi bersama keluarga, selain itu bagi yang mampu dan kelebihan  juga dibagikan kepada fakir miskin dan anak yatim.

Sedangkan  bagi masyarakat yang benar-benar tidak mampu, tentunya mereka akan ada antaran atau pemberian dari masyarakat yang mampu atau dermawan.

Apabila ada  masyarakat kondisi ekonominya betul-betul tergolong dibawah garis kemiskinan, apabila tidak ada yang memberinya daging sapi atau kerbau dari tetangga atau pihak dermawan lainnya, maka  pada hari meugang mereka tetap berupaya agar  dapurnya harus berasap dengan aroma masakan daging, walau hanya dengan memotong  unggas peliharaannya seperti ayam dan itik.

Itulah begitu sakralnya hari meugang bagi masyarakat Aceh dalam menyambut ramadan dan hari raya. Pokoknya hari  meugang merupakan hari istimewa, apapun alasannya,  dapur  harus berasap dengan masakan daging, walaupun hanya cukup untuk sekali makan.

Lebih-lebih bagi Linto Baro (pegantin baru laki-laki ), yang tinggal dirumah mertua, ataupun  tinggal dirumah sendiri tapi masih berdekatan dengan rumah mertua, wajib membawa pulang daging  meugang untuk dimasak.

Semakin banyak daging dibawa pulang semakin tinggi derajat seorang linto baro di keluarga tersebut. Sangat memalukan dan menjadi aib bagi keluarga, apabila  seorang pengantin baru tidak membawa pulang daging ke rumah mertuanya saat hari meugang.

Makanya bagi pengantin baru laki-laki yang menikah sebelum memasuki bulan ramadan, harus mempersiapkan segala sesuatu  khususnya  biaya untuk  meugang, karena meugang  bukan sekedar tradisi tapi juga harga diri dan gengsi bagi satu keluarga.

Sanking gengsi dan harga dirinya di hari meugang, tak heran dan sudah menjadi kebiasaan jelang meugang banyak kepala keluarga apalagi Linto baro sibuk bukan main mencari nafkah guna kebutuhan meugang.

Karena begitu bermaknanya hari Makmeugang bagi masyarakat Aceh, saat ini sebagian pimpinan perusahaan, toke bahkan pejabat perkantoran pemerintah dan swasta telah   menyediakan tip khusus, berupa uang atau daging meugang untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada tenaga kerja/ karyawan pada perusahaan  dipimpinnya.

Bagi masyarakat Provinsi Aceh  mayoritas penduduknya beragama  islam, ada satu momen telah mentradisi dan tidak boleh ketinggalan  saat menyambut bulan suci ramadan dan hari raya baik Idul fitri dan idul adha adalah Meugang.

Sejarah lahirnya tradisi Mak Meugang

Menurut sejumlah sumber,  awal  mulanya  munculnya hari Makmeugang” terjadi  sekitar abad 14 lalu, pada masa kepemimpinan kerajaan Aceh Darussalam. 

Dimana saat itu, kerajaan Aceh  memotong hewan dalam jumlah banyak kemudian  dibagikan  kepada msyarakat secara gratis.

Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur dan terimakasih atas kemakmuran Aceh, sehingga saat ini tradisi Makmeugang terus dilestarikan dan dilaksanakan  berbagai kalangan masyarakat  seluruh Aceh dalam menyambut hari-hari besar seperti ramadan. 

Nuansa perayaan tradisi Makmeugang menyambut ramadan dan hari raya baik Idulfitri dan Iduladha di Aceh sudah dilakukan turun temurun, kesemarakan momen ini mulai terlihat satu atau  dua hari sebelum masuknya bulan Ramadhan dan hari raya

Meugang di Aceh dilaksanakan selama tiga kali dalam setahun yaitu -2H dan -1H sebelum masuknya  ramadhan, begitu juga untuk  hari raya Idulfitri dan  Iduladha.

Di Aceh saat  hari Makmeugang masyarakat  berbondong-bondong membeli daging yang pembeliannya lebih banyak dari biasanya, baik daging sapi maupun daging kerbau

Bagi  masyarakat Aceh,  Makmeugang sangat penting, karena pelaksanaan meugang merupakan salah satu cara menyambut datangnya bulan ramadan dan hari raya Idulfitri dan  Iduladha.

 Bagi masyarakat Aceh, kedatangan bulan  Ramadandan hari raya Idulfitri dan  Iduladha selalu disambut dengan gembira,walau daerah dalam kondisi konflik sekalipun,  mereka  tetap melakukan berbagai persiapan termasuk bahan memasak daging meugang.

Bahkan ada di beberapa daerah pedalaman, pada hari Meugang selain daging, juga membakar  leumang (makanan dari ketan yang dimasukkan  dalam bambu, kemudian dimasak dengan cara dipanggang menggunakan api yang besar), Leumang tersebut khusus  dimakan bersama keluarga dan kerabat  pada hari Meugang.

Kalau ada warga tidak mampu membeli daging sapi atau kerbau, mereka mengupayakan   untuk menyembelih unggas peliharaan sendiri seperti ayam dan bebek, itulah begitu bermaknanya hari meugang bagi masyarakat Aceh.

Saat kondisi daerah  masa konflik, Makmeugang tetap berjalan di Aceh, walaupun kesemarakan ramainya pemotong sapi agak berkurang  dibandingkan kondisi Makmeugang di masa damai.

Saat Aceh dilanda konflik, apabila tidak berani berpergian ke lokasi penjualan daging, masyarakat tetap memotong unggas peliharaannya untuk dimasak. Pokoknya satu atau dua hari sebelum ramadan, setiap dapur masyarakat Aceh harus berasap dengan aroma masakan daging.

Makmeugang  momen berbagai kepada  kaum miskin dan anak yatim

Makmeugang  telah menjadi tradisi dan satu budaya lokal di kalangan masyarakat  Aceh, momen meugang juga tidak hanya   identik  memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga, dibalik itu  meugang  juga sarana perhatian  dan berbagi kepada  yatim piatu dan kaum dhuafa.

Bagi  masyarakat Aceh,  momen makmeugang bukan hanya  tradisi memasak daging, juga terselip  momen perhatian dan berbagi bersama  fakir miskin dan anak yatim.

Kalau  tidak melaksanakan tradisi ini, seakan ada perasaan tidak lengkap  untuk melaksanakan ibadah ramadan dan mearyakan Idulfitri dan Iduladha, apalagi saat meugang ada warga miskin atau anak yatim sekeliling rumah kita, tidak berasap dapurnya dengan masakan daging.

Makmeugang bukan sekadar  untuk makan daging, melainkan juga untuk beramal, peduli  sesama, membuktikan rasa perhatian kasih sayang bagi anak yatim, fakir miskin serta mempersatukan dan meningkatkan semangat silaturahmi antar keluarga.

Rasanya sangat terkutuk bagi warga,  apabila ada anak yatim dan fakir miskin di sekelilingnya yang tidak makan daging pada hari  meugang,  kegiatan ini bukan hanya saat menyambut bulan Ramadan  hari besar agama Islam lainnya seperti  Hari Raya Idulfitri dan Iduladha.

Makmeugang tingkatkan perputaran ekonomi masyarakat.

Selain  itu pada hari  Makmeugang, suasana di pasar sangat berbeda dari biasanya, di setiap sudut pasar terlihat sangat padat oleh masyarakat yang berbelanja, baik membeli daging, bahan dapur atau bahan pokok lainnya.

Penjualan daging pada hari meugang bukan hanya dilakukan di pasar daging semata, juga muncul   lokasi penjualan dadakan di beberapa sudut jalan strategis yang tidak pernah ada  pada hari biasa. 

Karena hari meugang, selain penjualan daging juga banyak yang berjualan  rempah-rempah untuk bumbu masak daging dan bahan kebutuhan hari meugang lainnya.

 Sehingga pada hari  meugang, perputaran ekonomi masyarakat juga meningkat, karena banyaknya masyarakat melakukan transaksi pembelian.

Bagi warga yang mampu,  Makmeugang  merupakan salah satu sarana  untuk bersedekah daging kepada tetangga atau sanak keluarga  kurang mampu, anak yatim atau juga warga sekitar.

Memasak daging di hari meugang dilakukan hampir semua masyarakat Aceh, daging tersebut dimasak dengan aneka menu, kemudian disantap bersama keluarga, para kerabat  juga tetangga, bahkan ada yang mengundang secara khusus anak yatim.

Di perantauanpun  saat hari meugang,  bisa dilihat rumah-rumah orang Aceh pasti  tercium aroma masakan daging, dengan aneka menu  nuansa aroma masakan Aceh terutama gulai merah atau kari yang sangat menggugah selera. 

Bagi masyarakat Aceh  berada di perantauan, saat-saat meugang tiba, pasti  diam-diam nurani rindu  kampung halaman akan bergelora, hal ini karena meluapnya naluri keinginan pulang kampung agar bisa  menyantap masakan daging meugang secara bersama orangtua atau keluarga  di kampung.

Sebenarnya kemeriahan Makmeugang, bukan sekedar persoalan makan daging semata, tetapi ada beberapa momen  dan makna khusus  dibalik aroma masakan yang sudah mentradisi tersebut.

Asap masakan daging hari meugang  menjadi makna penting meningkatkan  rasa perhatian kepada anak yatim, fakir miskin serta ajang berkumpul, mempererat dan meningkatkan silaturahmi  sesama keluarga.

Bagi orang Aceh yang merantau, baik anak ataupun  sanak saudara yang telah berkeluarga dan tinggal di tempat jauh, apabila tiba hari makmeugang, pasti akan teringat kepada orangtua  atau kampung halamannya, mereka mengusahakan untuk  pulang dan berkumpul di hari meugang.

Hari  meugang  merupakan kembalinya aura kebersamaan dalam keluarga, banyak keluarga di perantauan menjadikan momen meugang untuk  mengunjungi dan berkumpul dirumah orang tuanya, sambil  mencicipi masakan meugang.

Tak kecuali, putra-putri mereka yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi diluar daerah, sengaja dipanggil pulang oleh orang tua mereka, meski hanya satu atau dua hari saja, asalkan bisa menyantap daging meugang bersama-sama di kampung halaman. Sangat sedih  orang tua, apabila anaknya tidak bisa pulang dan mencicipi masakan daging yang dimasak orang tuanya di  hari meugang.

Karena saat-saat meugang banyak tersimpan  kenangan kampung yang tidak akan terlupakan. Seakan-akan ada senyum kasih sayang anggota keluarga  tidak akan pernah hilang saat makan daging meugang secara bersama. 

Bahkan ada istilah dikalangan perantauan  Aceh,  pesan  ibunda kepada anak dan sanak keluarga yang merantau, “Jak barangkahoe jeut, makmeugang bek tuwo woe. (Pergi kemanapun boleh, makmeugang jangan lupa  pulang).