Secuil kisah RSUD Tgk Abdullah Syafii (Bag-2).

 



Tulisan ini  merupakan  lanjutan reportase   pernah saya tulis  pengalaman, saat proses  awal  pembangunan rumah sakit Tgk Abdullah Syafie, berlokasi di Gampong Lada, Kota Mini Beureunuen kecamatan Mutiara Timur Pidie.

Kalau  tulisan pertama   cerita awal, suka duka  pengadaan tanah dan proses pembangunan rumah sakit saat masa konflik. Tulisan kedua ini,  cerita proses  pengoperasian rumah sakit dan upaya mendapatkan nomor kode rumah sakit dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Modal awal pembangunan RSUD  dimulai  berupa tanah dikelola kujreun blang/kantor camat,   di Gampong Lada seluas 8 Aree  (± 1250 M2).

Kerja keras dan bantuan berbagai pihak,  terjadi tambahan  pembebasan dan penukaran beberapa petak tanah lainnya, sehingga terbangunlah  cikal bakal bangunan rumah sakit.

Informasi keuchik Gampong Lada Tgk Razali, saat ini luas tanah telah dibebaskan dan berdiri bangunan ± 3 Hektar, sesuai master plan akan dibebaskan 3 hektar lagi tanah milik masyarakat Gampong Lada.

Saat awal  pembangunan, terjadi beberapa kendala, tantangan, intimidasi dan   ancaman karena saat pelaksanaan, sikon daerah   dilanda konflik, apalagi saat penerapan  darurat sipil dan militer.

Bahkan kami (Zulkifli, Aslim Affan, Mukim Razali Badal) mempunyai   pengalaman “sempat disebut gila”, karena membangun rumah sakit ditengah sawah, luas dan  anggaran  terbatas,  lokasinya daerah  kawasan rawan konflik dan masa darurat.

Apalagi  saat pembangunan awal, belum   jelas   klasifikasi jenis rumah sakit  yang  dibangun,  rumah sakit umum atau rumah sakit jiwa. 

Pernah jadi perbincangan di warkop,  kami membangun rumah sakit jiwa, pemikiran masyarakat, kondisi daerah konflik, banyak masyarakat tergangu psikis (jiwa), jadi perlu dibangun rumah sakit jiwa di daerah.

Alhamdulillah dengan   kesabaran dan tawakkal kepada Allah, doa dukungan semua pihak, akhirnya cita-cita lahirnya rumah sakit   di Beureunuen  terwujud.

Tahun 2005,  bangunan baru siap dua gedung, satu   berlantai dua,  satu lagi  satu lantai, tapi belum bisa digunakan.

Seratus hari pasca tsunami, saat  masa rehab rekon,   NGO dari Francis  Medecins Sans Frontieres (MSF), memanfaatkan satu bangunan  sebagai layanan kesehatan masyarakat, mereka memanfaatkan bangunan satu lantai, dengan lima ruangan,  dan  sepuluh tempat tidur.

Layanan kesehatan tersebut dilayani satu orang dokter NGO  dr.Soros dari Iran,  dua  perawat  yaitu  Azades dari Iran, Megan dari Australia, serta dibantu tiga  dokter dan   24 perawat dari Dinkes Pidie,  dokter dan perawat  sebagian  dialihkan dari puskesmas Mutiara.

Mereka memberi layanan sekelas rumah sakit, baik IGD maupun rawatan,  selama dalam rawatan, pasien  dan pendamping disediakan makan  gratis tiga kali sehari.

Pemanfaatan oleh NGO lebih kurang satu tahun, tahun 2005 bangunan  diambil alih Dinkes Pidie,  pelan-pelan difungsikan  jadi  rumah sakit.

Saat awal peralihan menjadi rumah sakit, banyak kekurangan dan kendala, baik SDM, perlengkapan, laboratorium, peralatan maupun administrasi, termasuk belum adanya  nomor kode rumah sakit (registrasi)  bukti pengakuan  Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Nomor kode rumah sakit merupakan nomor kode pengenal/identitas setiap rumah sakit secara nasional. Kode pengenal  bisa  merupakan pencacatan data dasar rumah sakit (RS) dan pelaporan pada Kemenkes,  juga untuk mempermudah bentuk pembinaan dan pengawasan pelayanan kesehatan oleh pemerintah.

Sejak dioperasikan sebagai rumah sakit, hampir empat tahun, status rumah sakit belum ada nomor kode rumah sakit. Saat itu, pernah dokter dan perawat berdinas di rumah sakit tersebut, sempat mengalami kecemasan, karena belum terdaftarnya institusi  di Departemen kesehatan (Kementerian kesehatan).

Mereka mengira, kalau rumah sakit belum terdaftar (registrasi) di Kemenkes, suatu saat terancam perjalanan karier,  bisa-bisa pengoperasian rumah sakit  tutup.

Tidak ada registrasi, tentunya juga  mengalami kendala alokasi anggaran pengembangan rumah sakit, baik Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun bantuan lainnya dari pemerintah. 

Selama empat tahun,  pemkab Pidie hanya mengalokasikan dana pengoperasian dan bantuan rumah sakit tersebut  melalui APBK via SKPK Dinkes Pidie. 

Kalau tidak ada registrasi,  bantuan hanya sebatas alokasi dana melalui Dinkes, tentu tidak akan maksimal, begitu juga hal masuknya dokter spesialis tentu  ada hambatan.

Adanya registrasi, selain  tercatat di Kemenkes,  juga memudahkan proses  mendapatkan alokasi dana bantuan  pemerintah dan   bisa langsung mengelola melalui  SKPK secara mandiri dan otonom, hal ini tentu juga akan berimbas, maksimalnya pengoperasionil  rumah sakit.

Upaya menghilangkan kecemasan berbagai pihak dan  kendala bagi manajemen rumah sakit, direktur rumah sakit  beserta jajaran serta dinas kesehatan Pidie saat itu, terus melakukan berbagai upaya mendapatkan nomor kode rumah sakit.

Tahun 2009, saat direktur rumah sakit dijabat Dr.Elfina Rachmi, Kadiskes Dr.Abdul Hamid,MSI mengutus Kepala Tata Usaha (KTU) rumah sakit Basri,SKM ke Jakarta untuk membawa surat permohonan dari  Dinkes.

Di Jakarta, Basri, SKM, ditemani Samsul  menjumpai almarhum Prof. Syamsuddin Mahmud (mantan gubernur Aceh), kemudian beliau menelepon langsung Dr.Mulya Hasyimi (Putra almarhum Ali Hasyimi) saat itu berdinas di Kemenkes RI.

Setelah itu Basri menjumpai Nasir Jamil (Anggota DPR RI fraksi PKS pemilihan Aceh) di gedung DPR RI Senayan. Setelah melapor  keperluan kepada  Nasir Jamil di Senayan, Basri  dan Nasir Jamil berangkat ke kantor Departemen Kesehatan (Kemenkes-red) untuk menjumpai Pak Mulya Hasyimy.

“ Ya ditemani Nasir Jamil   dalam guyuran hujan lebat, kami ke Depkes berjumpa  dr.Mulya Hasyimy”, kenang Basri saat itu.

 Tidak sampai dua bulan setelah dimasukkan persyaratan, dengan pengawalan  Nasir Jamil di Kemenkes, dibantu sejumlah pihak, akhirnya  tanggal 23 Juni 2009, nomor kode rumah sakit tersebut  keluar,  dengan nomor kode 1109027, ditandatangani sekretaris Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik  Dr.Mulya A Hasjimy,Sp.B, M.Kes.

Setelah adanya nomor kode registrasi, tahun 2009, pertama sekali rumah sakit tersebut mendapatkan  alokasi dana DAK Pidie,  bantuan langsung dikelola manajemen rumah sakit. Selain itu rumah sakit juga berkesempatan  mendapatkan sejumlah bantuan lainnya bersumber APBA dan APBN tanpa harus melalui SKPK Dinkes. 

Setelah peresmian, nama rumah sakit  pernah beberapa kali berubah, pernah  RSU Beureunuen, Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA), RSU Tgk Abdullah Syafi’i,  sejak 2019   jadi BLUD.

Alhamdulillah hari ini, sudah terakreditasi,  jadi BLUD tipe C,  perkembangannya sangat pesat, SDM, fasilitas, lumanyan  memadai dan membanggakan,telah jadi rujukan beberapa puskesmas.

Proses dan perkembangan, tentunya  juga tidak bisa kita lupakan peran sejumlah pihak seperti kadinkes  Dr.Abdul Hamid, MSi, drg Mohd Riza Faisal, MARS, DPRK dan sejumlah pihak lainnya termasuk  sejumlah direktur yang  pernah memimpin rumah sakit tersebut : dr.Fahrul, dr.Subkhan, dr.Elfina Rahmi,dr.Firman, Basri.SKM, dr. Kamaruzzaman.M.Kes, dr.Aci Erfia dan  Dr.Kamaruzzaman.M.Kes.                        

Semoga tulisan ini bisa menambah kesempurnaan kazhanah literasi  sejarah pembangunan rumah sakit BLUD Abdullah Syafiie yang kita  bangggakan.