Secuil kisah RSUD Tgk Abdullah Syafii Beureunuen



Reportase ini saya tulis merupakan cerita pengalaman, saat proses  awal  pembangunan rumah sakit Tgk Abdullah Syafie, berlokasi di Gampong Lada, Kota Mini Beureunuen kecamatan Mutiara Timur Pidie. 

Berawal adanya cantuman mata anggaran pembangunan bidang kesehatan di buku APBK (APBD-red) Pidie sekitar tahun 2002. 

Kemudian salah seorang anggota DPRK  saat itu almarhum H.Yunus Cut,  berisiatif mengajak  almarhum Razali Badal (saat itu menjabat  mukim Alue Batee),  Adnan Ubat Batee (saat itu anggota DPRK Pidie), Aslim Affan, juga ikut saya  sebagai   perwakilan pemuda menghadap Bupati Pidie almarhum Ir.H.Abdullah Yahya,MS, agar  anggaran tersebut dapat dialokasikan  membangun rumah sakit di kawasan Beureunuen. 

Impian Yunus Cut   disambut baik  Abdullah Yahya,  beliau menanyakan lokasi, karena luas lokasi puskesmas lama  pinggir jalan Banda Aceh-Medan  tidak mungkin  untuk  rumah sakit. 

Sambutan baik  Abdullah Yahya, kami  koordinasikan dengan  Dokter Abdul Hamid, MSi,  Drs Iskandar Abbas (Camat Mutiara Timur), dan Keusyik Gampong Lada saat itu M.Taleb Harun. 

Hasil koordinasi, mereka menyambut antusias, lokasinya disepakati pada tanah dikelola kujreun blang/kantor camat,  terletak di Gampong Lada seluas 8 Aree  (± 1250 M2). 

Tanah sawah itulah modal menyakinkan Bupati Pidie untuk membangun RSU, kemudian kami  mencari kontraktor yang mau terlibat pembangunan.

 Kami berangkat ke Banda Aceh menjumpai kontraktor  putra Gampong Lada  Ir.Hasbi Armas, salah satu kontraktor  terpercaya di Aceh dan  menyambut baik tawaran kami. 

Saat pengukuran terjadi kendala luas  lahan,  untuk membangun sebuah rumah sakit membutuhkan  luas lahan yang memadai. 

Dari pemetaan,  disamping tanah tersebut, terdapat tanah sawah wakaf milik masyarakat meunasah dayah Gampong Lada, seluas 20 Aree ( ± 3000 meter2). 

Karena status tanah  wakaf, masyarakat tidak bisa menjual sembarangan, kemudian diambil inisiatif  penukaran, masyarakat bersedia menukar dengan tanah sawah lain  harganya sepadan, lokasinya dianggap strategis. 

Karena sulitnya mendapat tanah sawah  sepadan untuk penukaran,  inisiatip  Hasbi Armas bersedia memberikan tanah sawah milik keluarganya tidak jauh dari lokasi awal kepada meunasah dayah dengan luas 2 kali lipat,  seluas 2,5 naleh (± 6250 m2). 

Setelah mendapatkan tanah tambahan,  Abdullah Yahya meminta kami melobi beberapa pemilik tanah lain seputaran lokasi,  agar mau menjual tanahnya. 

Berturut-turut membebaskan tanah milik  keluarga H.Syamsuddin Mahmud, Muliadi/Zulkifli, Tgk Ibrahim Medan, H.Ainol, H.Abubakar, Po Tihawa, kesemuanya penduduk Gampong Lada. 

Pembebasan tanah terus berlangsung tahap berikutnya, menurut Keuchik Gampong Lada Tgk Razali, luas tanah telah dibebaskan dan berdiri bangunan ± 3 Hektar, sesuai master plan akan dibebaskan 3 hektar lagi tanah milik masyarakat Gampong Lada, ujarnya. 

Saat melobi  banyak halangan, rintangan  kami hadapi, mereka tidak  menjual tanahnya,  alasan tanah  satu-satunya  warisan secara turun menurun dari orang tuanya 

Ditengah badai konflik  kawasan Kota Mini, kami terus bekerja, saya ingat betul bersama Dr.Abdul Hamid, M.Si  didampingi  supir Zainal Abidin Yasin,  di sela-sela waktu istirahat praktek dokter untuk   sholat magrib,  kami  mengedor rumah, pemilik tanah di Gampong Lada, bertamu menyakinkan tujuan membeli tanah tersebut. 

Akhirnya, ada  pemilik tanah mengerti, mau menjual tanahnya, partisipasi dan perngorbanan merekalah, akhirnya pembangunan rumah sakit terus berlanjut sekarang. 

Dalam prosesnya  Hasbi Armas diberikan kepercayaan   mengerjakan proyek pembangunan cikal bakal gedung pertama rumah sakit  dengan plot anggaran APBK (dulu APBD-red) sebesar 1,3 Milyar, diperuntukan untuk penimbunan dan pembangunan gedung.

Dalam perjalanan pelaksanaan pembangunan, saya dipercaya bertugas di lapangan, banyak kendala dan tantangan saya alami, ada  intimidasi,  ancaman dan berbagai lainnya, maklum kondisi lokasi daerah  konflik, apalagi saat penerapan  darurat sipil dan militer.

Sebagai bertanggung jawab pembangunan dilapangan,  sempat beberapa kali di jemput menghadap komandan, baik komandan  pihak GAM maupun Militer.

Apalagi saat itu maraknya kewajiban "pajak nanggroe"  hampir tiap pengamprahan  sudah ada utusan  memberitahu saya untuk menghadap.

Walau dilapangan nyawa taruhannya, semua kami hadapi  kesabaran dan tawakkal kepada Allah, pikiran kami  hanya ingin rumah sakit  bisa berdiri di Beureunuen, jangan dipindah  lokasi lain.

Tahun 2005, bangunan siap dua gedung, satu  gedung berlantai dua,  satu lagi siap satu lantai, tapi belum bisa digunakan.

Agar bangunan  tampak rapi dan terawat, Camat Mutiara Timur saat itu  Drs Iskandar Abbas mengajak geuchik, mukim dan pemuda,  bergotong royong  memagari sekeliling lokasi bangunan dan tanah  sudah dibebaskan dengan pagar belahan bambu. 

Kami sempat mempunyai   pengalaman tidak bisa kami lupakan, “sempat disebut gila”, karena membangun rumah sakit ditengah sawah dengan anggaran sangat terbatas,  lokasinya daerah  kawasan rawan konflik.

Gelar gila kedua jadi perbincangan saat pembangunan rumah sakit tersebut,  tidak  jelasnya   klasifikasi jenis rumah sakit  apa yang sedang dibangun. Karena konflik, saat pembangunan  tidak kami pasang plang nama proyek, wajar masyarakat tidak mengetahui, apakah rumah sakit umum atau rumah sakit jiwa.

Sempat jadi perbincangan di warkop, pemikiran masyarakat kami membangun rumah sakit jiwa. Alasannya karena kondisi daerah konflik, banyak masyarakat tergangu psikis (jiwa), jadi perlu rumah sakit jiwa di daerah, itulah bangunannya.

Setelah peresmianpun nama rumah sakit  masih berubah-rubah, pernah  bernama RSU Beureunuen, Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA), RSU Tgk Abdullah Syafi’i,  kemudian  sejak 2019   jadi BLUD.

Saat masa rehab rekon tsunami Aceh, Kadis Kesehatan Pidie dr. Abdul Hamid, MSi,   membawa NGO Medecins Sans Frontieres (MSF) Francis, memanfaatkan bangunan tersebut sebagai pusat layanan kesehatan, itulah awal mula bangunan  mulai dimanfaatkan.

Mereka   memanfatkan satu lantai, lima ruangan, di situlah dokter bule memberi layanan sekelas rumah sakit, baik IGD maupun rawatan,  selama dalam rawatan, pasien  dan pendamping disediakan makan  gratis tiga kali sehari.

Pemanfaatan oleh NGO  satu tahun, kemudian bangunan  diambil alih Dinkes Pidie,  pelan-pelan difungsikan untuk layanan kesehatan sekelas  rumah sakit, tenaga sebagian  dialihkan dari puskesmas Mutiara.

Alhamdulillah hari ini, perkembangannya cukup pesat, SDM, fasilitas, lumanyan  memadai dan membanggakan, jadi rujukan beberapa puskesmas dan  sudah jadi BLUD tipe C.                                      

Terlepas  berbagai kekurangan, tanpa mengurangi rasa hormat dan menggugat nama telah ditabalkan pada rumah sakit. Sebagai saksi yang mengetahui pengorbanan, perjuangan beberapa tokoh perintis pembangunan  atau pemilik tanah   sudah almarhum.

Sebagai ungkapan  mengingat jasa dan menghargai pengorbanan mereka, bertaruh nyawa, memperjuangkan lahirnya  rumah sakit.

Sepatutnya pemkab dan manajemen rumah sakit  memberikan penghargaan,  menabalkan nama mereka pada sal/ruang, lorong ataupun taman  rumah sakit.

Semoga tulisan ini bisa menambah kazhanah literasi  sejarah awal pembangunan rumah sakit BLUD Abdullah Syafiie. Anda punya kisah, Ayoo ditulis untuk melengkapi kesempurnaan tulisan sejarah rumah sakit yang kita  bangggakan.