Naik angkot menuju Bulan





Suatu hari usai penandatanganan kerjasama (MoU) universitas almuslim Bireuen dengan beberapa Perguruan Tinggi di Sumatera Utara, saya tidak langsung kembali ke Aceh bersama rombongan. Tetapi saya manfaatkan waktu  selama dua hari di Medan untuk bersilaturahmi dengan beberapa teman kos dan sesama teman kuliah di Medan baik saat  kuliah sarjana (S1) maupun (S2).

Pagi itu suasana cuaca kota Medan sedikit cerah, walaupun  pada malamnya kota Medan sempat diguyur hujan lokal, agenda saya hari itu, bersama  seorang teman kost masa kuliah, bermaksud  berjumpa dengan beberapa  teman kuliah di sebuah cafe diseputaran  jalan Dr.Mansur Padang Bulan Medan. 

Untuk menuju lokasi perteuan kami pada kesempatan tersebut sepakat  tidak menggunakan fasilitas kenderaan online (baik gojek, Grap atau jenis kenderaan online lainnya), tetapi hanya ingin menggunakan sudaco (angkutan kota), hal ini untuk mengenang kembali masa-masa nostalgia saat kami kuliah, dimana saat itu  kami  kemana-mana hanya naik Sudaco.

  Waktu menunjukkan pukul 11 lewat, posisi matahari hampir berada tepat diatas kepala, pancaran sinarnya mulai menyengat,  seakan tidak mau bersahabat  untuk memperkecil  sedikit volume panas sinarannya.

Walaupun sinar matahari begitu terik, tidak menyurutkan tekad kami keluar dari rumah seorang teman di sebuah gang di kelurahan Helvetia untuk berjalan kaki beberapa ratus meter agar bisa sampai ke halte yang berada di pinggir jalan seputaran pasar Sei sikambing.

Sampai di halte kami tidak langsung naik angkutan kota, tetapi kami duduk istirahat pada kursi halte yang sudah berlobnag dengan warna juga  sudah sedikit buram.

Di tengah sengatan matahari siang itu,  kami melihat hiruk pikuk kota dengan kesibukan masyarakat dengan berbagai aktivitas, padahal  karena Kondisi covid-19 dan kota Medan termasuk salah satu wilayah dalam kondisi penerapan PPKM level 2, tetapi suasana kota  tetap sibuk  sama seperti sebelum adanya penerapan PPKM, hanya di tempat-tempat tertentu dibatasi pergerakan kerumunan warga dengan  tetap dalam koridor penerapaan protkes, seperti cuci tangan dan memakai masker. dan lalu lalang kenderaan persis sama seperti saat belum adanya wabah Covid-19.

Sambil menunggu lewatnya sudaco yang akan kami tumpangi untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi pertemuan, di halte bus kami sempat berbincang dengan seorang ibu (seorang  wanita paruh baya),  yang sedang berjualan di sebuah kios rokok yang diparkir disisian tiang halte.

Kios yang berukuran 1 X 1 meter ini selain menjual rokok juga tersedia beberapa jenis minuman  ringan, sambil  istirahat duduk di bangku halte, sekali-kali kami juga  berbincang dengan pemilik kios,  dari raut wajah dan omongan perempuan pemilik kios tergambar jelas, perempuan paruh baya tersebut  seorang keturunan Batak.

Sambil meminum sebotol minuman mineral,  tiba-tiba wanita pemilik kios dengan logat bataknya bertanya pada kami, “Mau kemana kalian“, dengan santai kami menjawab “ kami mau kejalan Dr.Mansyur USU Padang Bulan”  “ Ooo... kalian mau ke Padang Bulan,” ucap Ibuk pemilik kios, “ ya buukk...”  jawab kawan kami   sambil bangun dari tempat duduknya dan mendekat ke arah kios. 

“ Ibu orang mana “  tanya kawan saya sama pemilik kios , “  Aku orang Tapanuli Utara, oo..ibu orang kita Batak, kataku, ya ?? jawabnya, “Aku Boru Tobing”, aku sudah sejak kecil  merantau ke Medan, jelasnya.

Suami ibu jualan dimana?, tanya kami lagi, “suamiku sudah lama meninggal dia marga Napitupulu, anakku 5 orang semuanya kerja di Jakarta “  jelas ibu Tobing sama kami.

“ Ngapain kalian ke Padang Bulan “ ucap Ibu Tobing balik bertanya kepada kami,  “ kami ada janjian dengan teman kuliah buk, ucap kami, “Ooo...mau ke USU..” tanya  buk Tobing lagi, bukan buk .. jawab kami, kami hanya ingin ke jalan dr. Mansyur pada sebuah cafe, karena ada janjian pertemuan dengan teman, jelas kami.

 “Anakku 4 ( empat ) orang tamatan USU,  sekarang dia kerja di Jakarta,  sebelum muncul wabah Covid -19, sekitar 3 tahun lalu ada pulang dan sudah dibawanya  adik dia  yang paling bungsu  kuliah di Jakarta,“  jelas ibu Tobing  dengan suara mengelegar seakan memecahkan suara raungan  knalpot angkot yang terus berkejar-kejaran saling mendahului di persimpangan lampu lalu lintas.

 “Umurku sekarang sudah hampir 60 tahun, sudah hampir 30 tahun aku  jualan dijalanan  dengan lokasi berpindah-pindah, sudah hampir 50 kali pulak aku kenak gusur tempatku ini, ujarnya .

 “Walau digusur, aku tetap jualan,  apa boleh buat,  untuk kucari makan dan biaya kuliah anakku , kalau aku tidak cari duit  dari manalah aku dapat uang “  omel buk Tobing sambil membereskan sanggulnya yang sudah acak-acakan.

Setelah buk Tobing diam sejenak, kami bertanya pada buk Tobing,  kami mau ke Padang Bulan naik angkot  nomor berapa ya buk??? soalnya sekarang sudah banyak jenis angkot di kota Medan, berbeda jauh seperti masa-masa kami kuliah, ungkap saya pada buk Tobing.

Saat kami kuliah dulu hanya ada satu jenis angkot yang dikelola Koperasi Pengakutan Umum Medan (KPUM),  jenis mobil warna kuning (labi-labi kalau di Aceh), tetapi sekarang  sudah cukup banyak model dan jenis angkutan kota.





Lantas ibu Tobing bangun melihat-lihat angkot yang terus bergerak berkejaran saling menyalip di jalan depan kios jualannya menuju rutenya masing-masing, sambil  mulutnya mengunyah-nguyah daun sirih dicampur tembakau,  sehingga dimulutnya  terlihat jelas air liur merah hasil proses makan sirih,  menghiasi bibir wanita Batak tersebut,.

  Kemudian wanita paruh baya berucap pada kami,   nanti kau lihatlah angkot yang tertulis Pancur Batu atau Padang Bulan di kacanya, kalau nomor sekarang kadang tidak nampak jelas lagi, akupun kadang tidak  hapal nomornya, “ jelas boru  Tobing sambil bangun agak menjongkok melihat-lihat , angkot yang terus bergerak didepan kiosnya.

Mata kami  terus berkeliaran kesetiap ujung jalan, sambil melihat kebagian depan setiap angkot yang melintas melewati  kios  tempat  kami menunggu, karena seperti penjelasan ibu Tobing, setiap angkot  di bagian depannya, sudah tertulis nomor rute dan juga nama daerah/ rute yang mereka lalui.

Tiba-tiba  dari pandangan ibu Tobing  berjarak sekitar 20 meter terlihat ada sebuah angkot yang berjalan agak pelan, sambil memanggil-manggil penumpang , sang supir menyebut  “  bulan...bulaann “  dengan cekatan ibu Tobing yang berada di dalam kios berucap,“ Hey..tu dia yang ke Padang Bulan nak..kau bangun tu dia angkotnya “  ujar boru Tobing sambil menunjuk kearah angkot yang ke Padang Bulan.

Sambil turun dari kios ibuk Tobing turut membantu kami memanggil angkot tersebut “ Hey..Hey...Laee...ni sewa ke Padang Bulan... Woii.. ni sewa kau ambil “  teriak buk Tobing sambil mengangkat tanganya  memanggil angkot yang menuju ke Padang Bulan.  “ Tu..tu... angkotnya  yang warna kuning tu..naiklah kalian itu arah Padang Bulan “  jelas bu Tobing sambil mengarahkan kami untuk bangun dan naik angkot  yang menelusuri rute Padang Bulan. 

Kamipun dengan sigap berlari, tanpa sempat berucap terima kasih pada buk Tobing, terus bergegas lari menyeberang jalan  dipadatai berbagai jenis kenderaan yang berjalan pelan karena mau mendekati persimpangan jalan yang ada lampu lalulintas.

 Saat kami naik dalam angkot sudah ada satu orang penumpang yang sudah duluan naik, kemudian dengan tiga penumpang,  angkot secara pelan tersebut terus bergerak meninggalkan halte dan kios buk Tobing.

Setelah melewati beberapa ruas jalan dalam kota tibalah pada satu persimpangan lampu Stop,  dari arah sebelah kanan sebuah gang sempit keluar dua orang Inang-Inang dengan pakaian kotor ditangan kirinya,  menjinjing sebuah keranjang, mereka nampaknya seperti wanita yang baru saja pulang dari berjualan di pasar, salah seorang dari mereka langsung mengayunkan tangan, dengan setengah berteriak memanggil angkot kami tumpangi yang sedang berjalan pelan di persimpangan lampu merah  “ bulaan..bulaan..”  panggil inang-inang tersebut.

Ya..ya..bulaann..ayoo...ayoo..marii..marii...buk ..bulan..bulaan. “ sahut supir angkot , memanggil dengan tanganya sambil memperlambat laju jalan angkot, 

“Ayoo...ayoo.. cepat,.cepaat buuk naik terus “  ajak sang supir, kemudian setelah penumpang itu naik tanpa menghiraukan lampu merah yang masih menyala,  sang supir langsung tekan gas menerobos lampu pengatur lalulintas, sehingga hampir saja di persimpangan jalan tersebut, terjadi tabrakan dengan sebuah mobil pribadi warna putih, untung supir mobil pribadi tersebut dalam kondisi bisa menghentikan mobilnya secara mendadak.

Tetapi walaupun tidak  terjadi tabrakan,  saat itu sempat terjadi makian dari sang supir pribadi kepada supir angkot, supir mobil pribadi yang masih berusia muda tersebut,  langsung membuka kaca mobilnya sambil mengeluarkan kata-kata.. “ Hey...monyet ...pakek otak kau.. “, pekik sang supir mobil pribadi.

Tetapi pekikkan supir mobil pribadi  tidak dihiraukan sang supir angkot,  dia terus menancap gas seperti tidak ada kejadian apa-apa, sang supir angkot terus menoleh kiri kanan sepanjang jalan yang dilaluinya,  untuk melihat siapa tahu ada sewa yang sedang menunnggu angkot.

Disepanjang perjalanan Ari dan Eru terus bercerita tentang ibu Tobing , menurut mereka kalau dilihat wajah dan suaranya sangat angker dan menakutkan, “  teryata ibu Tobing termasuk seorang ibu yang cukup baik dan janda yang tahan banting, betapa tidak selama berjualan di kios kecil itu, hampir 50 kali kena gusur, mana mungkin dia  sanggup bertahan kalau ibu Tobing tidak tahan banting “ jelas Eru sambil tersenyum. “ Ya..juga ya..? .

Dengan pengorbanan ditengah kerasnya persaingan tersebut,  hanya  berjualan di kios rokok dia juga mampu kuliahkan 5 anaknya, pasti dia seorang perempuan yang hebat”   balas Ari lagi. Wah..hebat apanya ..? “ sergah Eru lagi, “ mana mungkin dia hebat, kalau hebat pasti dia tidak berjualan  disitu, apa lagi tiap hari kenak gusur “ tambah Eru sambil tersenyum,.

Jadi bagaimana juga,  dia sampai bisa menyekolahkan anaknya “  timpal Ari lagi. “ kalau menurutku buk Tobing itu orangnya pekerja  keras, punya kemauan dan ulet, tanggung jawab,  dia itu tidak pantang menyerah makanya dia sukses mendidik dan mampu sekolahkan anaknya hingga sukses “  tambah Eru sambil menepuk paha Ari.

Disepanjang perjalanan,  angkot yang ditumpangi Ari dan Eru,  terus bergerak dengan jalannya seperti tersendat-sendat, karena sang supir sekaligus merangkap kenek, mengemudikan angkotnya seperti orang yang baru saja belajar mengemudi, karena baru saja supir mulai menekan pedal gas,  tiba-tiba sang supir langsung  menekan pedal rem juga secara tiba-tiba, sambil memanggil setiap orang yang berdiri dipinggir jalan dan persimpangan  gang kecil, sambil mengacungkan jari telunjuk kedepan, “ bulan..bulaan... “ dengan logat bataknya,  setengah parau sang supir terus berteriak memanggil setiap orang di pinggir jalan, tanpa menghiraukan suasana hiruk pikuk derunya suara mesin angkot lain dan becak bermotor.

Sang supir tanpa mempedulikan para penumpang yang sudah ada dalam angkot apakah panas, pengap ataupun dingin dengan tebaran abu dan asap knalpot  yang terus berterbangan kedalam angkot, para penumpang yang sudah ada dalam angkot,  bukan lagi raja ataupun prioritas utama bagi sang supir, tetapi yang menjadi prioritas mereka,  tambahan sewa yang belum masuk dalam angkotnya, tekanan pedal gas supir angkot  yang tersentak-sentak,  menjadi suatu permainan bagi para penumpang, seperti permainan anak-anak yang sedang bermain mobil-mobilan di arena TimeZone.

Dalam perjalanan,  kadang-kadang juga sempat melewati beberapa sekolah yang berada di pinggir jalan yang dilalui menuju ke padang  bulan, tingkah polah sang supir juga seperti tambah leluasa dan keras memanggil anak sekolah,  untuk terus jadi penumpang angkotnya “ ayoo..ayoo. dek...bulan..bulan....bulaaan.. Ayoo...naek masih kosong”   panggil sang supir setengah berteriak.

Kadang ada anak sekolah yang masih ragu dan mereka langsung mendekati sang supir menanyakan dengan jelas kemana arah angkotnya.. “ Bang padang bulan ya..? “ tanya seorang siswi SMP , “ ya..ya..padang bulan dek.. ayoo..bulan..bulan... naik terus masih kosong ini..ayo..

Padang bulan.....ayo..bulan-bulan  naek...naek.. masih muat  “ teriak supir sambil mengangkat tangan kananya memanggil siswa yang masih berdiri diseberang jalan.

Saat mereka menuju terminal sambu, mereka berdua menyelusuri gang-gang  sempit, yang telah dipenuhi sejumlah pedagang kaki lima, dengan gerak langkah pelan , berjalan  berdesakan dengan para pejalan kaki  yang berlawanan arah, mereka berdua harus ektra hati-hati, dalam berjalan dengan teknik berkelit dan sedikit melunturkan tubuhnya, guna untuk menghindari tersenggolnya berbagai barang dangangan pedagang kaki Lima (PKL) yang menjajakan barangnya seakan tanpa batas luas lapak.

 dengan wajah yang dibasahi  bintik-bintik keringat,  nafas yang terengah-engah penuh kecapekan dan kehausan, mereka bergegas mencari minuman untuk menghilangkan dahaga, sejak pagi tenggorokan mereka belum setetespun dibasahi oleh  air ,  sambil duduk pada sebuah bangku  panjang yang terbuat dari kayu bekas, tanpa berpikir panjang,  mereka ambil dua botol minuman teh sosro.

Setelah menghabiskan satu botol teh sosro, salah seorang dari mereka Ari merasa belum  cukup hanya dengan meminum  sebotol  teh tersebut,  untuk menghilangkan kecapean, sambil mencolek Eru dengan jari telunjuknya Ari berujar “ Ru...ambil tuh  buah-buahan,   jangan tahan laparnya  perjalanan masih jauh Eru... “ 

Ari mengambil  dua potong irisan pepaya dan nenas,  yang  satu diberikan buat Eru yang terlihat masih sangat lelah, apalagi ditambah dengan cuaca kota medan,  siang itu sangat panas menyengat, sehingga cucuran keringat begitu