Anda pernah jadi anggota pasukan Dom Drien, Ceritalah…






 Sudah sering kita mendengarkan tentang berita atau ucapan tentang kata boh drien (Durian). 

Salah satunya adalah tentang dom drien, dalam masyarakat Aceh, dom drien dimaknai sebagai aktivitas menginap di kebun durian saat musim panen tiba, agar durian yang jatuh tidak disantap binatang dan atau dicuri orang.

Sudah menjadi kebiasaan pemilik kebun durian, apabila memasuki masa panen, baik sendiri maupun berkelompok, mereka menginap di kebun untuk menunggui durian jatuh. 

Sebagian hasilnya dibagi untuk mereka yang ikut dom drien dan sisanya dijual. Kebiasaan inilah yang dalam bahasa Aceh dinamakan 'dom drien'. 

Namun, tulisan tentang dom drien kali ini, saya tidak hendak bercerita tentang buahbuahan berduri yang beraroma aduhai itu.

Dom drien yang hendak saya ceritakan ini merupakan dom drien dalam makna lain, yakni salah satu tradisi adat budaya dalam rangkaian pesta perkawinan di kalangan masyarakat Aceh. 

Dom drien yang saya maksud di sini adalah salah satu rangkaian prosesi pelaksanaan adat perkawinan yang telah mentradisi dalam masyarakat Aceh.

Tujuan tulisan ini adalah untuk melawan lupa bagi generasi tua, sedangkan bagi generasi muda Aceh, semoga bisa menjadi renungan dan edukasi bahwa ada satu tradisi budaya dalam prosesi perkawinan masyarakat Aceh yang sekarang mulai hilang, bahkan mulai dilupakan sebagian masyarakat. 

Tradisi tersebut yaitu prosesi mengantar atau menemani pengantin laki-laki (linto baro) pulang ke rumah istrinya (dara baro) pada malam hari. Ini biasannya dilaksanakan setelah walimatul ursy di siang hari.

Seiring perkembangan waktu, tradisi dom drien mulai tergerus zaman, bahkan mulai hilang tanpa bekas. Padahal, tradisi dom drien mempunyai semangat kekerabatan, persaudaraan, dan mempunyai sifat kemuliaan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Aceh. Budayawan kelahiran Bandar Dua Pidie Jaya, Nab Bahany AS, pernah menulis di facebooknya, tentang dom drien ini.

Menurutnya, tradisi dom drien merupakan budaya masyarakat Aceh yang dilakukan pihak pengantin baru, yaitu prosesi mengawani, mendampingi, atau mengiringi linto baro pulang ke rumah pengantin wanita (dara baro) pada malam hari setelah acara pesta perkawinan dilaksanakan siang hari. 

Prosesinya dilaksanakan malam hari. Biasanya yang mengawani atau mendampingi linto baro adalah anak muda yang belum menikah (masih lajang), usianya sebaya dan teman dekat linto baro.

Pengantaran hampir sama saat mengantar linto siang hari, tetapi mengantar malam hari tidak lagi memakai pakaian adat.

 Mereka berangkat setelah magrib bersama linto baro, ada juga yang setelah shalat Isya, tergantung jarak kampung tempat tinggal dara baro dengan kampung linto baro. 

Rombongan dom drien, setelah mengantar linto baro tidak langsung pulang, mereka ikut menginap di rumah dara baro, menjadi pengawal linto selama beberapa malam (biasanya sampai tujuh malam berturut-turut). "Dimulai seusai prosesi antar linto," tulis Nab Bahany.

Dulu, kebanyakan pasangan mendapat jodoh orang sekampung atau dari kampung tetangga. Terkadang letak kampung linto dan dara baro tidak berjauhan, bahkan bertetangga, sehingga dengan berjalan kaki sudah sampai ke rumah dara baro. 

Apabila kampungnya jauh, tidak bisa dijangkau jalan kaki, acara mengantar kepulangan linto baro menggunakan sepeda secara bersama. Kala itu kendaraan bermotor belum sebanyak sekarang, ojek (RBT), apalagi ojek online tentunya  belum ada seperti saat ini.

Sebagai penghormatan dan kemuliaan atas kepulangan linto baro bersama pasukan dom drien, biasanya tuan rumah menyediakan dan menjamu mereka makan malam.

 Saat jamuan makan malam, makanan dihidangkan dalam talam atau nampan besar, dengan aneka menu di dalam piring kecil, bukan disajikan ala France.

 Setelah makan bersama, pasukan dom drien tidak langsung pulang, ditemani beberapa anggota keluarga, juga ikut sejumlah gadis dengan berpenampilan sopan, rata-rata memakai baju lengan panjang dan kain sarung--baik kain sarung madras India maupun kain sarung batik-- mereka mengawani untuk silaturahmi.

Deskripsi ini masih saya kutip dari tulis budayawan Nab Bahany. Dalam praktiknya, gadis tersebut merupakan sahabat dan tetangga dara baro, mereka bersilaturahmi, duduk di satu ruangan. Kalau di rumah Aceh biasa disediakan tempat ngumpul di seuramoe. 

Di situlah mereka berkenalan, bergaul, bercerita saling bercengkrama, penuh keakraban dan persaudaraan. Tidak jarang pula dari proses silaturahmi dom drien ini terjadi perkenalan yang berlanjut jalinan perjodohan, seterusnya menuju pernikahan di antara mereka.

Menurut Nabhani AS, kebanyakan perjodohan zaman dulu tidak dimulai dari proses pacaran seperti zaman milenial saat ini. 

Dulu ada pasangan pengantin yang mengenal calonnya, hanya beberapa hari menjelang menikah, bahkan ada yang mengenal calonnya saat hari pernikahan. Itulah mungkin salah satu tujuan adanya tradisi dom drien pada proses perkawinan adat Aceh, agar pengantin yang baru menikah, tidak merasa malu dan canggung saat pulang ke rumah dara baro untuk bergaul menjalin keakraban suami istri yang sah di antara mereka berdua.

 Apalagi pengantin yang baru kenalan, tentunya bisa saling mengenal saat bersilaturahmi, bercerita akrab setelah makan malam bersama awak dom drien, serta pihak penyambut tamu beberapa gadis di rumah dara baro.

Menurut pandangan Budayawan Nab Bahany AS, akibat perkembangan kebebasan pergaulan muda-mudi, seiring terjadinya perubahan budaya dan pola bercinta anak zaman now, prosesi budaya dom drien, pada adat perkawinan Aceh dewasa ini tidak relevan lagi, karena jauh sebelum menuju malam pengantin secara resmi, mereka sudah saling akrab dan saling kenal satu sama lain. Jadi, tidak perlu lagi yang harus dipandu oleh pasukan dom drien. 

Apalagi era kemajuan teknologi komunikasi, tidak ada lagi sekat nilai adab yang dulu sangat tabu untuk membatasi pergaulan muda-mudi yang asyik-masyuk berduaan sebelum menikah.

 Berboncengan sepeda saja bagi seorang perempuan dianggap tabu oleh masyarakat.

Tapi sekarang siapa bisa protes sepasang muda-mudi kalau berboncengan, bahkan naik kenderaan roda dua berpelukan. 

Dulu bila sepasang muda-mudi menjalin asmara, surat cintanya dikirim lewat boh lupieng (kelapa sudah dilubangi tupai), diletakkan di depan rumah si wanita yang dicintainya, melalui media itulah secara sembunyi surat dikirim karena mereka tabu untuk bertemu, tulisnya.

"Kalau pacaran zaman sekarang sudah pada tahap kebebasan, siapa bisa melarang, sepasang muda-mudi bercinta, chatting, online melalui telepon selulernya berjam-jam, jadi buat apa lagi prosesi budaya dom drien dalam pesta perkawinan adat Aceh?" gugat Nab Bahany lagi.

 Sebagai budayawan, Nab Bahany sangat prihatin, lenyapnya tradisi budaya perkawinan masyarakat Aceh yang hilang begitu saja.

Ini akibat laju perkembangan teknologi dan kebebasan pergaulan menggelinding begitu cepat, menerobos sekat-sekat adab dan budaya pergaulan masyarakat Aceh, yang penuh etika kesopanan dalam bingkai menjunjung tinggi syariat Islam, saat ini tidak ada yang mampu membendung terjadinya gerusan tradisi 'keuneubah indatu' tersebut.

Nah, untuk mengembalikan tradisi dom drien tetap bersemi dan abadi dalam prosesi adat perkawinan Aceh, tentunya harus dimulai dari proses perubahan perilaku pergaulan dan pertunangan muda-mudi dalam masyarakat Aceh seperti masa lalu. 

Nah, siapa di antara Anda yang pernah merasakan nikmatnya jadi pasukan dom drien? Ceritalah!

Artikel ini pernah  tayang di SerambiNews.com dengan judul Tradisi Dom Drien yang Tergerus Zaman, https://aceh.tribunnews.com/2021/09/11/tradisi-dom-drien-yang-tergerus-zaman