Laskar Aceh di pelangi Papua

 




Senin, 6 Juli 2020 10:18

SAYA tidak begitu kenal dengan almarhum Muhammad Zaki, putra Bireuen yang meninggal di RSUD Nabire, Papua, Senin (29/6/2020). Pertama kali kenal justru saat ia me-like sebuah status di Facebook saya tentang aktivitas Kampus Universitas Almuslim (Umuslim) Peusangan, Bireuen. 

Kemudian komunikasi kami berlanjut melalui messenger dan Muhammad Zaki memperkenalkan dirinya sebagai alumnus Program Studi Bahasa Indonesia pada FKIP Universitas Almuslim. Di kampus ini saya justru mengajar, meski lain program studi dengan tempat Zaki kuliah dulunya. 

Singkat cerita, melalui inbox Facebook saya tanyakan mengapa Zaki yang orang Bireuen akhirnya mengabdi di bumi cenderawasih tersebut. 

Kepada saya ia kisahkan bahwa awal mula petualangannya dimulai Desember 2015.

 Saat itu Zaki mengikuti seleksi Program Guru Penggerak Daerah Terpencil melalui Program Pokja Papua. Seleksinya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ada ratusan peserta yang lulus, Zaki satu-satunya dari Aceh.

Setelah mendapat pembekalan, mereka pun diterbangkan ke Papua pada Januari 2016. Zaki ditempatkan di Kecamatan Mbiandoga, Kabupaten Intan Jaya. Dengan uang pas-pasan yang sebagian uang itu pun dibantu temannya dan tanpa handphone android, Zaki meninggalkan seorang ibu di Aceh yang kehidupannya memprihatinkan.

 Dengan tekad untuk membantu ibunya, Zaki berangkat untuk mengabdi di pulau paling timur Indonesia. 

Dari beberapa cerita dan chat beliau kepada saya, sempat saya rangkum dalam bentuk tulisan. 

Kisahnya kemudian saya kirim ke Serambi Indonesia melalui wartawan Serambi di Biro Bireuen, yakni Yusmandin Idris. 

Berita tersebut sempat tayang di Serambi dengan judul Putra Aceh Menebar Bakti di Belantara Papua. Saat berita tersebut sampai di tangan redaktur Serambi, Said Kamaruzzaman ia sempat beberapa kali meminta tambahan data dari saya untuk melengkapi tulisan tersebut. 

Namun, tak bisa saya penuhi, karena saat saya hubungi Zaki lagi, ternyata ia tidak lagi berada di pusat Kabupaten Intan Jaya. Zaki justru sudah terbang ke lokasi pengabdian di SDN Inpres Mbiandoga. Lokasinya berada di wilayah terpencil Kabupaten Intan Jaya, Papua. 

Di Mbiandoga, lokasi tempat Zaki tinggal, belum ada listrik, apalagi jaringan internet.

 Jadi, kalau ingin berkomunikasi lagi dengannya harus menunggu tiga bulan ke depan, saat mereka berkunjung ke ibu kota kabupaten. 

Di sekolah tersebut Muhammad Zaki Spd, demikian nama lengkapnya, bertugas sebagai Guru Penggerak Daerah Terpencil Kabupaten Intan Jaya sejak 2016-2018. 

Lantaran pengabdian dan dedikasinya bagus dalam bertugas, sehingga sejak Januari 2019 sampai 2020 Pemkab Intan Jaya mengangkat Muhammad Zaki menjadi tenaga guru honorer daerah. 


Saat pulang liburan, Januari 2018, beliau sempat chat saya, menanyakan aktivitas Kampus Umuslim.
 Beliau ingin ke kampus untuk bersilaturahmi sekaligus memberikan materi motivasi bagi adik-adik mahasiswa. "Nanti kalau ada program, bulan enam, hubungi saya, Pak ya? Biar saya siapkan presentasinya. Tujuan kita hanya untuk berbagi pengalaman, khususnya bagi mahasiswa dalam menghadapi medan pedalaman nantinya/ke depan," tulis Zaki lewat aplikasi messenger. 

Intinya, ia meminta saya untuk berkoordinasi dengan Bapel KKM Umuslim, karena ia ingin menyampaikan materi tentang pengalamannya mengabdi di daerah terpencil dalam acara pembekalan  Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) di sela-sela waktu liburannya di Aceh. 

Zaki juga sempat menyebarkan brosur mencari donatur bantuan buku untuk anak-anak di pedalaman, dengan pengiriman gratis seluruh Nusantara via pos Indonesia.  

Selain itu, menjelang HUT Ke-72 RI Zaki  juga pernah menulis kondisi riil di Kecamatan Mbiandoga khususnya dan Kabupaten Intan Jaya pada umumnya. 

Menurut Zaki, keadaan yang didapatnya selama di Papua lebih pelik, hitam kelam dari apa yang diketahui sebelumnya, kondisinya mencakup segala sendi kehidupan, jadi tidak hanya pendidikan, tapi perekonomian dan kesehatan pun sangat memprihatinkan, begitu lapor Zaki kepada saya. 

Kondisi masyarakat di sana sangat membuat ia prihatin. Masyarakatnya jauh tertinggal (dibanding Aceh). Sebagian mereka masih belum mengenal baju, tidak tahu makanan bergizi, bahkan banyak warga yang belum mengenal mata uang. 

Selain itu, tulis Zaki, kondisi kesehatan masyarakatnya menyayat kalbu, harga barang kebutuhan pokok 10 lipat lebih mahalnya dibandingkan dengan harga normal di provinsi lain. 

Insfrastruktur transportasinya pun sangat sulit. Untuk mencapai ibu kota kabupaten, lapor Zaki, masyarakat harus berjalan kaki mencapai satu minggu atau dengan menggunakan pesawat.

 Tapi mahalnya luar biasa, mencapai Rp20 juta per flight. Lama antreannya mencapai tiga bulan. 

Pendeknya, kata Zaki, tenaga pendidik dengan berbagai keterbatasan fasilitas harus berjuang maksimal memberikan titik cahaya ilmu kepada peserta didik di Papua, agar wajah pendidikan yang hitam kelam bisa bercahaya walau tidak terang benderang. 

Kondisi masyarakat pedalaman Papua diibaratkan Zaki seperti katak di bawah tempurung. “Jangankan mengenal Menteri Pendidikan, Presiden Republik Indonesia saja mereka tidak kenal,” tulis Zaki lagi. 

Masih banyak cerita tersembunyi di balik belantara hutan Papua, yang tidak semua orang bisa menjelajahinya, kata Zaki. “Kami telah menjalaninya dengan penuh deraian air mata, tidak ada yang tahu bagaimana kondisi pengabdian di lereng-lereng bukit dan hutan belantara Papua. 

Kami melakukan pengabdian tulus di sini untuk mencerdaskan anak bangsa,” tulisnya. 

Ia juga membandingkan, guru di kota berlomba mendapat tunjangan dan pelatihan, sedangkan guru di pedalaman siapa yang mau peduli? “Di kota Rp 300 harga BBM naik, ribut, demo di mana-mana. 

Di tempat pengabdian kami harga BBM malah Rp 50.000 per liter, siapa yang mau ikut prihatin? Harga beras Rp 1.850.000  per 25 kg, siapa yang mau membantu?” keluhnya. 

Ia juga bertanya,”Kepada siapa mereka harus mengadu? Berapa gaji mereka, berapa kebutuhan mereka, dan siapa yang menanggung kehidupan masa depan mereka? Masih banyak pertanyaan yang tidak terjawabkan.

Tetapi bukan itu yang utama kami pikirkan, kami hanya berharap anak bangsa dari lereng gunung dan lembah belantara  ini juga bisa mendapat akses pendidikan dan kesehatan,” tulis Zaki bernada impresif. 

 Zaki adalah Pahlawan 

Zaki, kamu adalah pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa yang telah memerdekakan anak-anak negeri di lembah belantara Papua dari kungkungann kebodohan sehingga bisa baca tulis. 

Kamu adalah satu dari laskar Aceh yang telah mewarnai pelangi pendidikan di Papua, pelangi yang yang memberi pencerahan demi mengubah kehidupan terbaik untuk masa depan anak bangsa. 

Kamu telah mengubah awan hitam pekat pendidikan anak Papua menjadi pelangi yang cerah bagi anak negeri, dengan berbakti, memberi, dan berbagi berbagai ilmu. 

Ilmu lebih penting daripada segalanya. Kami bangga atas pengabdian terbaikmu, apalagi kamu rela meninggalkan tanah kelahiran bersama ibu dan saudara tercinta demi pengabdian tulus untuk  mereka yang sangat membutuhkan. 

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Ajal telah menjemputmu, kamu telah pergi untuk selama-lamanya. Selamat jalan syuhada pendidikan, baktimu akan tetap kami kenang di relung sanubari kami. Alfatihah. 


Penulis : Zulkifli