Dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat
Cina, covid-19 yang awalnya disebut virus corona, merebak ke seluruh dunia.
Masyarakat dunia panik, negara-negara kewalahan. Ragam cara dilakukan untuk
memutus mata rantai virus yang diduga pertama kali berpindah ke tubuh manusia
akibat memakan kelelawar.
Para kepala negara di dunia melakukan berbagai cara
untuk mengatasi serangan covid-19. Italia yang awalnya menganggap remeh
serangan virus tersebut, akhirnya dibuat kewalahan. World Health Organisation
(WHO) yang merupakan lembaga di bawah United Nations Organisation (UNO) alias
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ditetapkanlah salah satu cara mencegah
penularan virus itu dengan sistem physical distancing. yaitu teknik menjaga
jarak antar individu, minimal satu meter, agar covid-19 tidak bisa menular.
Selain itu juga diterapkan teknik social distancing,
pembatasan sosial, yaitu meniadakan kerumunan di fasilitas publik hingga di
dalam rumah tangga. Tekniknya tetap sama, yaitu menjaga jarak antar individu.
Pun demikian, semakin hari wabah covid-19 semakin
hari semakin meresahkan masyarakat di se antero bumi. Dari ujung barat hingga
ujung timur, warga dunia dibuat cemas. Indonesia pun tak luput dari serangan
covid-19. Aceh, yang awalnya oleh netizen sempat mengatakan bahwa corona tidak
akan berani datang ke sini, kini juga dibuat gentar.
Perkembangan korban semakin hari juga terus
bertambah, update informasi terakhir dari gugus Covid Aceh melalui laman resmi covid19.acehprov.go.id dan Dinkes.acehprov.go.id sampai Rabu (1/4/2020) pukul 15.15.00 WIB, korban covid 19
di Aceh : 5 orang Positif , 893 Orang Dalam Pemantauan (ODP), dan 45 Pasien
Dalam Pengawasan (PDP), dari jumlah 893 ODP, 162 orang sudah selesai pemantauan
dan 731 masih dalam proses pemantauan.
Untuk mengantisipasi memburuknya perkembangan ke
depan, Pemerintah Aceh mengeluarkan maklumat bersama yaitu pemberlakukan jam malam selama dua
bulan, sejak hari Minggu tanggal 29 Maret 2020 sampai 29 Mei 2020, guna
membatasi aktivitas masyarakat di ruang publik sebagai upaya untuk memutus
rantai dan mencegah penyebaran virus corona.
Kebijakan jam malam tersebut ditandatangani
Forkopimda Aceh, yang isinya membatasi pergerakan masyakat pada malam hari
mulai pukul 20.30-05.30 WIB
Alasan penerapan jam malam pada masyarakat di tengah
mewabahnya penyebaran virus Covid 19 dianggap sebagai salah satu upaya untuk
mempersempit sebaran wabah virus.
Atas pemberlakukan jam malam, timbul pertanyaan,
begitu pentingkah maklumat tersebut diterapkan pada masyarakat Aceh yang
menurut data BPS beberapa waktu lalu merupakan provinsi termiskin di Sumatera?
Penyelamatan nyawa masyarakat memang harus
dinomorsatukan, tetapi efektifkah dan begitu pentingkah penerapan jam malam ini
untuk memutuskan rantai penyebaran virus corona, sampai mematikan pergerakan
ekonomi masyarakat kelas kaki lima?
Apakah tidak ada jalan lain untuk memutuskan rantai
penyebaran virus selain jam malam, agar ekonomi masyarakat, demi berputarnya ban gerobak pedagang kaki lima.
Dalam salah satu poin maklumat jam malam, khusus
ditujukan kepada para pengelola usaha agar tidak membuka usanya pada malam
hari. Padahal seperti kita ketahui kebanyakan yang jualan pada malam hari
banyak kuliner usaha skala menengah ke bawah. Mereka rata-rata masyarakat
berpenghasilan kecil. Dengan pemberlakuan maklumat ini sangat berimbas pada
usaha pedagang kaki lima.
Usaha dagang gerobak yang mereka lakoni bukan
dagangan yang bisa mengumpulkan dan memobilisasi banyak orang. Karena sistem
dagang menggunakan gerobak, hanya menyediakan jajanan, seringkali tanpa kursi
dan meja. Bilapun ada, jumlahnya sangat sedikit, dan itu bisa dilarang.
Mereka hanya berharap nasi goreng yang dijualnya
bisa laku beberapa bungkus saja, bukan ratusan bungkus, bandrek yang mereka
jual bisa laku beberapa gelas saja, cukup untuk beli gula persiapan jualan esok
malam lagi, begitu juga yang jual putu bambu bisa laku hanya cukup menghabiskan
dua butir kelapa saja, sudah sangat lumanyan untuk sekedar bisa kasih jajan
anak sekolah tingkat SMP, begitu juga yang jualan kacang rebus bisa laku sekedar
untuk bisa membeli setumpuk ikan esok hari.
Pemberlakuan jam malam, terus terang bukan saja
sebuah kebijakan salah kaprah, tapi juga bentuk ketidakpahaman pemerintah dalam
memberantas gerak laju covid-19 di Aceh. Ekonomi publik lumpuh. Keresahan
menjalar. Apalagi, oleh perangkat di berbagai gampong, pemberlakukan jam malam
dipahami sebagai lockdown hyper local, bahkan dengan memasang portal di
persimpangan jalan. Sebuah langkah salah kaprah, tapi dibiarkan oleh
pemerintah.
Seharusnya, dalam kondisi seperti ini, dengan
kemampuan Pemerintah Aceh yang juga lemah membangkitkan ekonomi rakyat, konsep
jam malam yang sudah serupa darurat militer, tidak perlu diberlakukan. Pembatasan
sosial sangat penting, tapi bukan dengan cara melumpuhkan kota hingga ke
gampong-gampong.
Mengawal
di Pintu Gerbang
Bila Pemerintah Aceh serius ingin menghalangi
covid-19 masuk ke Aceh, tentu bukan dengan pemberlakuan jam malam. Tapi dengan
mengawal langsung di pintu gerbang Aceh, baik dari jalur darat, laut dan udara.
Karena pembawa virus tentulah orang-orang yang datang dari luar.
Di dekat bandara, di dekat pelabuhan dan di dekat
perbatasan darat, Pemerintah Aceh perlu menyediakan karantina lokal, siapa saja
yang masuk ke Aceh, harus terlebih dahulu dikarantina di sana. Bila setelah
memenuhi prosedur kesehatan, dinyatakan sehat, maka diperbolehkan melanjutkan
perjalanan ke kampung/tujuan akhir. Ini lebih logis dilakukan.
Tapi sejauh ini, cara menangani covid-19 justru
berbeda. Pintu gerbang dibuka, warga di dalam dipaksa “lockdown” bahkan dengan
cara yang tidak masuk akal.
Untuk itu, saya kira kita semua sudah harus
mengingatkan Pemerintah Aceh, bahwa untuk mencegah penyebaran covid-19, jangalah
seperti kata pepatah:
Rimuëng buëh h’an jikurông, ureuëng gampông
‘jipenjara,’kamèng blang pajôh jagông, kamèng gampông keunöng geulawa.
Kalau jalur masuk tidak ditutup percuma saja ada jam
malam, karena mereka yang baru pulang atau baru masuk ke Aceh, tetap bisa
keluar masuk Aceh. Ada atau tidak ada jam malam, tak berpengaruh bagi mereka
dan tanpa sengaja menyebarkan covid-19 ke orang lain.
Selain itu juga kalau jam malam tidak diberlakuakn, pemerintah bisa menerapkan aturan dengan memperketat patroli intensif aparat keamanan untuk mencegah kerumunan orang yang ada di warkop, atau usaha kuliner lainnya, jadi usaha dagang masyarakat tidak terhenti dan pencegahan juga bisa berjalan.
Segeralah evaluasi
penerapan jam malam di Aceh dalam pemberantasan virus corona. Bek panik! Jangan
lupa cuci tangan, makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
Penulis : Zulkifli
Artikel
ini pernah tanyang di https://www.acehtrend.com/tanggal
02//04/2020/ dengan judul Jam malam langkah lucu mencegah penyebaran
Covid-19.
sumber Foto : Serambi Indonesia