Tiro meusyeuhu masa konflik, adem masa damai





Kunjungan saya ke Tiro kali ini merupakan yang kedua setelah pernah mengunjungi  tahun 2003, kesempatan kunjungan ke Tiro pasca 14 tahun perjanjian damai MoU Helsinki  untuk menghadiri undangan Walimatul ‘Urs dari seorang sahabat di Tiro.

Perjalanan saya ke tiro  yang kedua kali, diperjalanan sempat berpapasan  dump truck yang lalu lalang mangangkut galian C  dan  truk tronton mengangkut  hasil produksi  hasil alam lainnya. Tiro nama sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie, membawahi 4 kemukiman, 19 gampong, topografi wilayah sebagian pengunungan, sungai dan persawahan.

Saat aceh dilanda konflik, nama tiro begitu meusyeuhu  (terkenal) sampai keluar negeri, nama tiro begitu populer di masyarakat Indonesia bahkan dunia, apalagi di kalangan aparat keamanan, hal ini tidak lepas  tertambalnya kata tersebut pada nama  sang wali neugara yang juga deklarator Aceh Merdeka almarhum Tgk Muhammad Hasan Tiro, saat memimpin pergerakan bermukim di luar negeri, sebelumnya nama tersebut juga sudah melekat pada  pahlawan nasional Indonesia Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.

Awal pasca damai wilayah yang berada dibalik Glee Meulinteung tersebut seakan padam semakin kelam,  hampir tertutup semak-semak kemiskinan dan keterbelakangan, tidak ada gemerlap  pembangunan maupun kedap-kedip pemberdayaan masyarakat yang menonjol. Saat ini sekilas pantauan saya, kondisi keamanan  bercahaya aman, damai, masyarakat  mayoritas petani sawah, kebun, peternak tradisionil, penambang galian C pasir  serta pelajar bebas beraktivitas melakukan  rutinitas kehidupan.

Para peternak tradisional pagi menggembala ternaknya ke padang rumput, sore atau bahkan bakda magrib baru pulang ke rumah, kini tak perlu lagi khawatir. Demikian pula pala penambang galian C. Menggali pasir dan batu di sungai atau di gunung mereka lakukan tanpa rasa waswas. Sesuatu yang tidak mereka rasakan ketika Aceh dulunya sedang dirundung konflik.

Saat konflik penduduk kecamatan Tiro, kehidupannya tidak nyaman dan normal, tidak bisa beraktivitas, semua dalam ketakutan penuh kecurigaan, seakan sasaran ujung bedil aparat tertuju untuk orang yang ada kaitan dengan nama tersebut.
Saat berpergian masyarakat tidak berani menuliskan kata "Tiro" pada  identitas, seakan kata tersebut siap-siap menunggu panggilan interogasi, juga jadi penunjuk jalan ke penjara dan kematian, begitulah perasaan ketakutan dialami masyarakat masa konflik.

Kenyamanan terkait nama tiro muncul kembali pasca perjanjian damai,  ada anak muda sahabat saya penuh kebanggaan menambahkan kata tiro dibelakang namanya, tetapi itu hanya sesaat, seiring habisnya hisapan sebatang rokok sigaret merah dan kepulan asap berhembus mengulung ke angkasa,  semua mimpinya tenggelam dalam lamunan yang tidak pasti.

Saat konflik  warga luar  Tiro  tidak berani  berkunjung kawasan tersebut, kecuali keperluan  mendesak yang tidak dapat dielakkan, seperti musibah orang sakit dan meninggal. 
Walaupun masyarakatnya tidak semua terlibat  politik perjuangan , puluhan tahun masyarakat tiro pernah  hidup penuh ketakutan dan kecurigaan, karena masa konflik, kawasan itu berstabillo merah, apapun aktivitas dan gerakan tubuh mereka saat itu jadi incaran pantauan radar mata-mata intelijen.

Secara seloro ada cerita, saat konflik seorang pemuda gagal mempersunting gadis tiro karena orang tua laki-laki tidak berani pergi untuk melamar ke kawasan tersebut, begitulah keangkeran dan ketakutan yang luar biasa ditimbulkan dengan kata Tiro pada masa konflik.

Padahal secara tidak langsung kawasan tersebut  sama  dengan  daerah lain yang terimbas konflik, tetapi nama Tiro seakan menjadi kata keramat keanggkeran, ketakutan, juga menjadi kebanggaan.

Kalau orang mengajak  sekedar silaturahmi, mau jalan  santai, jangan harap  berani pergi ke tiro masa itu, kalau diajak semua menggelengkan kepala, padahal kawasan tersebut ada lokasi  objek wisata alami  bendungan irigasi pinto satu, juga pemandangan perbukitan gugus bukit barisan dengan gundukan gunung Halimon, puncak gunung   menjadi  bagian sejarah pergerakan masyarakat aceh, lokasi deklarasi gerakan "Aceh Merdeka".

Pantauan saya, saat ini tiro begitu adem, teduh tidak ada gejolak yang di khawatirkan, masyarakat begitu bersahabat kepada tamu, tidak ada lagi pandangan masyarakat pada lawan bicarannya dengan pandangan tegangan tinggi menantang penuh ketakutan dan kecurigaan.

Setiap pembicaraan diwarkop tidak ada lagi pembahasan berbau  ketakutan, kegelisahan, kenyamanan yang menghalangi aktivitas beribadah, berniaga, bertani, bersekolah dan aktivitas masyarakat lainnya.

Mereka hanya membahas persoalan impian terwujudnya isu kesejahteraan, sesuai janji setiap saat disampaiakan pemimpin, bahkan janji itu juga sempat berbuih keluar dari mulut elit, saat perjalanan proses perdamaian " menurut mereka  isi MoU  akan membawa rakyat Aceh sejahtera". Sudah 14 tahun berjalan janji itu belum terbukti sepenuhnya,janji ibarat buih-buih  terus mengalir dengan deras di aliran krueng tiro, tidak tahu sampai kapan dan dimana akan berhenti.

Air krueng tiro mengalir penuh kesejukan melewati sejumlah lekukan dan kelokan sungai ditutupi batu-batu kecil, kadang dengan ganas menabrak tonjolan kerikil koral  berbatuan cadas menghadang, seakan aliran air jernih pengunungan tiro setia memberitahukan jangan terlena dengan buaian seribu impian untuk menggapai kesejahteraan, tidak ada waktunya lagi berpangku tangan dan berangan-angan, teruslah berusaha,  berjalan sesuai alur yang sudah ada, perjanjian damai Helsinki  sudah memasuki usia 14 tahun, dana Otsus hanya tinggal beberapa tahun lagi, kondisi masyarakat masih belum beranjak dari tikar kemiskinan.

Di atas tikar sambil mengusap air mata kedamaian, masyarakat sabar dan setia menunggu terealisasinya berbagai janji dari pemimpin yang silih berganti, tapi janji tinggal janji, buih-buih kesejahteraan bagaikan mimpi untuk bisa dinikmati.
Siang itu karena teriknya matahari, sebelum menyusuri beberapa desa  melewati kaki pengunungan, sempat beristirahat pada rangkang  pinggir sungai,  kami menikmati minuman ringan dingin plus mencicipi potongan nenas asam yang telah ditaburi sedikit garam (sira campli), sambil mata tetap memandang mengalirnya air jernih di sungai tiro.

Selain sungai, indahnya hamparan persawahan yang  menguning, kebun warga  di pengunungan tiro yang masih perawan dengan  aneka ragam tanaman tumbuh subur, dari kejauhan pandangan terlihat  warga menenteng pebekalan makanan menyusuri pematang sawah, persawahan bertambah semarak dengan suara burung pipit dan gerakan orang-orangan seakan lambaian mengabarkan suasana damai di bumi tiro dan memberi bukti di gunung Halimon, pernah mengukir sejarah besar lokasi deklarasi gerakan "Aceh Merdeka" oleh Tgk Muhammaad Hasan Tiro.

Potensi sejarah Halimon, topografi wilayah pengunungan berbukit indah, pemandangan hamparan sawah, aliran sungai tiro dengan kilauan air  jernih modal menjadikan daerah tiro  kawasan wisata. Dibutuhkan perhatian, pemikiran dan sejumlah inovasi dari berbagai pihak, untuk mengembangkan menjadi daerah wisata  keluarga dan islami.

Jangan biarkan alam  gunung tiro,  lokasi sejarah pergerakan masyarakat aceh yang pernah mensyeuhu,  lenyap hilang tenggelam terbawa arus sungai tiro tanpa bekas, sungai yang telah menjadi sumber kehidupan petani di beberapa kecamatan mengalir sendirinya, tetapi membiarkan masyarakat tiro  menikmati air mata kemelaratan dan kemiskinan didalam rumah, tanah, aliran sungai dan alam  penuh potensi tanpa bisa dimanfaatkan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat.

Perlu banyak perhatian, pembinaan,pendampingan dan  inovasi pemikiran, dari pemerintah memanfaatkan berbagai sumber anggaran  untuk digunakan  pada program pemberdayaan potensi kawasan tersebut untuk  dikelola secara profesional mengedepankan kearifan lokal menuju Aceh hebat dan pidie Meusigrak.

Alangkah indahnya kawasan desa dikaki pegunungan bisa dirubah menjadi kawasan wisata baru bernuansa alam,  pemerintah  perlu melakukan "revolusi mental" masyarakat melakukan pendekatan, memberikan pemahaman pemanfaatan, membangun, mengembangkan potensi anugerah yang  dilimpahkan Allah SWT  dalam upaya meningkatkan ekonomi masyarakat.

Jangan biarkan generasi tiro dan Aceh umumnya hidup dalam kemiskinan dengan balutan dana Otsus yang melimpah, akankah kondisi ini bertahan untuk waktu yg lama, atau masyarakat harus rela dan sabar menunggu habisnya "sibak rukok teuk" untuk bisa menikmati kesejahteraan dari sumber dana otsus.

Harapan kita kondisi mensyeuhunya tiro dan Aceh secara umum dimasa konflik harus berbeda  dimasa damai, perlu perhatian dan inovasi bagi masyarakat  di perdesaan dan pedalaman demi peningkatan kesejahteraan, akankah Aceh dengan dana otsus melimpah ingin  tetap dengan terhormat betengger pada angka peringkat termiskin pertama di Sumatera.?

Penulis : Zulkifli

Cerita ini pernah tayang di http://aceh.tribunnews.com/ pada tanggal 20/09/2019 di Rubrik Jurnalisme Warga dengan judul Tiro masyhur masa konflik adem dimasa damai?