KKM merupakan program dan sarana bagi mahasiswa dan dosen melakukan pengabdian sebagai wujud dari implementasi tridarma perguruan tinggi.
Suasana kota Bireuen pagi itu masih terasa sepi, hanya terlihat beberapa jamaah shalat Subuh yang baru ke luar dari beberapa masjid. Mereka sedang mencari sarapan dan kopi pagi di beberapa sudut warkop yang baru buka.
Cuaca pagi itu masih terasa sejuk. Maklum , malamnya kota yang berjuluk “Kota Juang” ini diguyur hujan deras, sehingga di beberapa sudut kota terlihat genangan air hujan.Sebelum tancap gas menuju Takengon, kami lebih dahulu sarapan dengan mengisi perut sepiring nasi gurih menu kari bebek plus secangkir boh manok weng (BMW) campur teh.
Seusai sarapan, kami bergegas menstarter mobil mumpung jalan masih agak sepi. Pelan kami bergerak melewati puluhan desa di sepanjang jalan. Cuaca di Bireuen belum tampak cerah, masih dibalut awan hitam. Ekses dari hujan deras pada malamnya.
Ban mobil yang kami tumpangi terus bergulir menyusuri jalan menuju Aceh Tengah. Setelah melewati desa wisata Krueng Simpo, mobil bergerak beberapa kilometer, gerimis pun mulai turun. Sang sopir mulai hati-hati karena jalan sedikit mendaki, licin, dan agak berliku dengan kondisi aspal masih basah. Dipandang dari jarak jauh bagai keluar asap dari aspal.
Kami memacu kendaraan tak begitu kencang,. Di depan kami ada satu truk barang interkuler berpelat polisi BK (pelat polisi Sumatera Utara), truk bergerak sedikit pelan, terasa menampung beban barang yang berat, sehingga kami yang mengekor di belakangnya harus ekstrahati-hati demi terhindar dari ciuman pantat truk yang terkadang berhenti tiba-tiba. Ukuran pantat truk agak lebih lebar dibandingkan ukuran moncong depan mobil yang kami tumpangi.
Pelan tapi pasti, kendaraan kami terus berjalan di belakangnya, karena belum ada peluang jalan lebar untuk melewatinya. Saat itu pula kami sempat membaca satu tulisan yang terpampang di belakang dinding truk dengan tulisan warna-warni: Menorobos kabut demi sebuah janji.
Di latar belakang tulisan tergambar seorang gadis rambut sebahu, beralis hitam tebal, serta pemandangan pengunungan penuh awan berarak. Juga gambar pepohonan dan hutan lebat.
Tulisan tersebut sangat menginspirasi, menarik, dan mengilhami proses perjalanan yang saya lakukan pagi itu, karena sepanjang perjalanan, cuaca gerimis dihiasi kabut, sehingga kadang sempat menghalangi pandangan sang sopir kendaraan yang saya tumpangi.
Saya tak tahu maksud dan kepada siapa dipersembahkan tulisan huruf kapital yang tertera di punggung truk tersebut, tetapi saya yakin tulisan itu punya makna tersendiri dan sangat berarti bagi sopir truk dalam menjaga kepercayaan untuk mencari rezeki halal bagi anak istri.
Kepergian saya menempuh perjalanan pagi itu penuh tantangan. Di Cot Panglima hujan turun lebat dan tak bersahabat bagi perjalanan kami. Kabut tebal pun mulai mengadang.
Tantangan itu terus kami lewati, kepergian saya untuk menunaikan sebuah janji dengan mahasiswa. Sebagai Koordinator Dosen Pembimbing Lapangan KKM Umuslim, saya pernah berjanji akan menggelar rapat tingkat kecamatan untuk membahas berbagai persoalan dan merumuskan beberapa program KKM tingkat kecamatan di Aceh Tengah tahun 2019.
Karena sudah janji, saya berusaha keras berangkat demi janji yang sudah disepakati, saya akan hadir dalam pertemuan tersebut, walau sepanjang perjalanan hujan dan kabut terus mengadang.
Melewati Cot Panglima cuaca sudah mulai agak bersahabat sehingga kendaraan yang kami tumpangi mulai bisa agak dikebut. Tampak di sepanjang perjalanan beberapa kota kecil ramai dengan pasar kaget di pinggiran jalan, misalnya di Blang Rakal dan Ronga-Ronga. Beberapa warga terlihat bertransaksi secara tardisional di pinggir jalan.
Pasar tersebut tak menghalangi kami menempuh perjalanan ke kota yang mempunyai ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (dpl) itu. Kami lewati pasar tersebut dan sepanjang jalan yang kami lalui hujan mulai turun lagi. Seakan anugerah Yang Mahakuasa itu ingin menunjukkan kesetiaannya menemani perjalanan kami menuju kota berhawa sejuk tersebut.
Pemandangan sepanjang jalan dalam suasana hujan begitu mencekam, jalan terasa sepi, pucuk aneka ragam pepohonan melambai, bergoyang ke sana kemari, seiring kencangnya tiupan angin pengunungan. Curahan air hujan mengalir deras turun ke setiap alur yang berada di pinggir jalan dan lembah yang sangat curam. Roda mobil kami terus berputar dengan kecepatan sedang.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, tibalah kami di tempat tujuan. Setelah berkeliling menjumpai dan membimbing mahasiswa di beberapa kampung lokasi penempatan mahasiswa KKM Umuslim di Aceh Tengah, tibalah waktu perjanjian kami diwujudkan, yakni menggelar pertemuan dengan sejumlah perwakilan mahasiswa dari 12 kampung.
Rapat kami adakan di sebuah cafee seputaran kota takengon. Berlangsung dalam suasana penuh kekeluargaan dan keakraban. Peserta rapat terlihat ada yang memakai jaket tebal sambil tangannya mendekap tubuhnya, tetapi wajah mereka begitu gembira dan saling berbagai informasi pengalaman, suka duka selama 15 hari sudah mengabdi di Dataran Tinggi Gayo.
Setelah menggelar rapat, jarum jam menunjukkan angka 17 lewat 10 menit, hujan pun turun lebat, diiringi angin pengunungan Gayo yang bertiup sangat kencang, hawa dingin mulai menyusup ke pori-pori dan tulang. Tubuh saya dan beberapa peserta KKM terlihat mengigil dan bulu-bulu halus di lengan mulai berdiri tegak. Bibir atas dan bawah bergetar kencang, sehingga rencana pulang sore itu hampir saja kami tunda.
Melihat intensitas curah hujan yang begitu tinggi, hampir saja kami putuskan untuk bermalam di kota dingin ini. Tetapi hal itu tak mungkin kami lakukan karena saat berangkat dari rumah, kami sudah berjanji pada keluarga bahwa akan kembali (tidak menginap) setelah rapat selesai.
Setelah menunggu beberapa waktu, kami belum juga bisa bergerak karena hujan masih sangat deras. Kami tunaikan shalat Magrib di Takengon. Setelah itu hujan, di tengah guyur hujan yang tak jua reda, akhirnya kami putuskan kembali ke Bireuen malam itu juga.
Di perjalanan, hujan terus mengguyur, angin kencang dan kabut terus mengadang. Tapi tekad kami sudah bulat, yakni harus bisa kembali malam itu juga, demi sebuah janji yang kami ucapkan kepada keluarga, yakni kami akan kembali malam ini juga.
Tepat pukul 20.05 WIB kami bergerak meninggalkan jutaan kenangan dan pengalaman dalam balutan persaudaraan di medan pengabdian mahasiswa KKM. Kami menorobos hujan lebat dan kabut tebal untuk bisa kembali demi sebuah janji pada keluarga.
Penulis : Zulkifli
Cerita ini pernah tayang di http://aceh.tribunnews.com/ pada tanggal 04/09/2019 di Rubrik Jurnalisme Warga dengan judul menerobos kabut demi sebuah Janji.
Cerita ini pernah tayang di http://aceh.tribunnews.com/ pada tanggal 04/09/2019 di Rubrik Jurnalisme Warga dengan judul menerobos kabut demi sebuah Janji.