Pada awal Lebaran Idulfitri yang lalu, tiba-tiba ke handphone saya masuk satu pesan WhatsApp (WA) dari teman kuliah semasa di Medan dulu. Isinya dia ucapkan selamat Idulfitri 1440 H, mohon maaf lahir dan batin. Kemudian, di akhir kalimatnya ia tambahi pesan: Kalau ke Medan jangan lupa oleh-oleh pisang sale Lhokseumawe ya?
Membaca pesan tersebut saya langsung terkenang pada
nostalgia puluhan tahun lalu, karena sejak menyelesaikan kuliah kami jarang
bertemu, padahal sebelumnya saya sering menghadiahinya pisang salai, orang Aceh
menyebutkan pisang sale, lalu dengan penuh kegembiraan saya jawab permohonan
teman saya tadi dengan “Insyaallah”.
Sahabat saya tadi teringat pada oleh-oleh pisang
salai Lhokseumawe, tapi sebetulnya bukan produk Lhokseumawe, melainkan produk
Lhok Nibong di Aceh Timur. Semasa kuliah dulu, saat saya kembali ke Medan
sepulang liburan dari Aceh, sebagai oleh-oleh untuk teman sering saya bawa
pisang salai yang saya beli di Lhokseumawe. Tapi sekali lagi, pisang yang
diasapi ini diproduksi di Lhok Nibong, bukan di Lhokseumawe.
Pisang salai merupakan salah satu cemilan khas Aceh.
Warnanya cokelat dan agak kehitaman karena diproses dengan cara dijemur setelah
dikupas, lalu diasapi. Bahan baku untuk membuat cemilan ini adalah pisang,
bercita rasa manis, legit, dan aman untuk konsumsi.
Setelah beberapa hari menerima pesan WA, sambil
bersilaturahmi ke Bireuen, saya mencari pisang salai di seputaran terminal bus,
karena dulu selain di Lhokseumawe, saya juga sering beli pisang salai di
Bireuen. Setelah bertanya ke sejumlah kios, ternyata barangnya tak ada, karena
semua kios tidak lagi menjual pisang salai. Yang banyak dijual justru keripik
pisang, keripik ubi, atau keripik sukun made in Bireuen.
Kemudian saya coba ke tempat jualan keripik arah
timur Kota Bireuen seputaran Stadion Cot Gapu, hasilnya sama. Lalu, ada warga
yang mengarahkan saya ke tempat jualan keripik arah barat Kota Bireuen, eh,
hasilnya juga sama. Tak ada lagi orang berjualan pisang salai di Kota Keripik
dan Kota Satai ini.
Informasi dari seorang pedagang, sejak konflik
bersenjata di Aceh tahun ‘90-an, sudah jarang ada pemasok pisang salai ke kedai
mereka.
Saya juga teringat cerita seorang teman pada
Ramadhan lalu yang mencari pisang salai di Bireuen untuk oleh-oleh tamunya dari
Jakarta. Lelah dia cari tetapi pisang yang diinginkan tetap tak ada, sehingga
terpaksa dia pesan ke Lhok Nibong, Aceh Timur, baru ada.
Saya pun akhirnya coba menghubungi seorang saudara
di Lhokseumawe untuk mencari pisang salai, karena dulu kota di Lhokseumawe,
khususnya di kawasan terminal, sangat banyak orang yang berjualan pisang salai.
Ternyata di bekas kota petrodolar tersebut hanya dua orang yang penjual pisang
salai, tapi tak jadi kami beli karena kualitasnya kurang legit. Stoknya juga
agak terbatas, mungkin sisa produksi beberapa minggu lalu, sebelum Lebaran.
Padahal dulu, saat jaya-jayanya perusahaan gas,
geliat terminal Kota Lhokseumawe begitu semarak dengan penjual pisang salai.
Pokoknya, kalau kita naik bus malam, saat tiba di Terminal Lhokseumawe,
walaupun pencahayaan lampu terminal agak remang-remang, tetapi kita langsung
tahu bahwa kita sudah tiba di Terminal Lhokseumawe, karena di terminal itu
begitu ramai dan semaraknya suara penjaja pisang salai.
Tanpa menghiraukan risiko, mereka menenteng pisang
salai di tangan, berebut bergantungan naik ke bus. Pemandangan ini persis sama
dengan penjaja makanan ringan kalau kita naik kereta api di daerah Tebing Tinggi,
Sumatera Utara, dan beberapa terminal di Pulau Jawa.
Sesampai di dalam bus, mereka sangat cekatan
menjajakan cemilan khas Lhok Nibong itu kepada penumpang. Dari mulut mereka tak
henti-hentinya keluar teriakan, “Sale...sale..sale...ambil satu dua ribu, kalau
ambil tiga cukup lima ribe.”
Bahkan di dalam bus terkadang lebih banyak penjaja
makanan daripada penumpang, pokoknya kegaduhan dalam bus, begitu semarak dengan
banyaknya pedagang pisang sale menjajakan jualannya, kadang suara tawaran penjual pisang sale beriringan dengan
tangisan bayi dalam pelukan ibunya,
kalah jauh dengan suara penjaja ranub..ranub, telor puyuh dan aqua.
Itulah sepenggal nostalgia yang pernah terjadi di
Terminal Lhoksemawe tentang begitu semaraknya suasana dengan tingkah polah dan
gaya para pedagang pisang salai.
Suasana seperti itu sebenarnya bukan hanya terjadi
di Terminal Lhokseumawe, tetapi juga di Terminal Bireuen, Lhoksukon, dan
Pantonlabu, tetapi di tiga terminal tersebut jumlah pedagangnya agak sedikit
dibandingkan di Terminal Lhokseumawe.
Namun, nostalgia kesemarakan celoteh penjaja pisang
salai di terminal, kini hanya tinggal kenangan, suasana masa lalu mulai redup,
seiring dengan redupnya api gas alam LNG Arun serta hilangnya sentuhan embusan
pembinaan bara api pengasapan di sentra produksi Lhok Nibong.
Awal meredupnya kiprah penjaja pisang salai di terminal bus–seperti saya singgung di awal tadi--dimulai pada saat Aceh dilanda konflik. Saat itu masyarakat mulai jarang memanfaatkan bus malam untuk perjalanan jauh.
Bersamaan dengan kondisi itu pula pasokan pisang salai dari
sentranya di Lhok Nibong dan Pantonlabu berkurang, hal ini karena kawasan
sentra pisang salai merupakan kawasan yang eskalasi konfliknya tinggi.
Kawasannya termasuk ke dalam kategori “daerah merah” konflik.
Padahal , era ‘80-an pisang salai terkenal sebagai
salah satu oleh-oleh khas, baik bagi masyarakat Aceh maupun luar Aceh. Selain
dijual dalam bentuk curah (dalam bentuk kiloan) pisang salai juga ada yang
di-packing dengan desain kotak yang menarik dan dijual sampai ke Banda Aceh.
Sekarang malah sudah ada produksi pisang salai di
Banda Aceh, tapi rasa dan legitnya tentu beda dengan produksi tradisional di
Lhok Nibong, tempat awal mula produksi cemilan ini.
Selain alasan konflik, saya tak tahu persis kenapa
oleh-oleh hasil produksi penduduk yang mendiami aliran Krueng Arakundo ini bisa
menghilang di beberapa kawasan, seperti di Terminal Bireuen, Lhokseumawe, dan
kota kecamatan lainnya? Kalau benar semata-mata konflik penyebabnya, mestinya
pisang salai kini sudah banyak lagi diperdagangkan karena Aceh sudah damai
sejak 14 tahun lalu.
Nah, perlu ditelisik apakah penyebab langkanya
pisang salai kini di pasaran karena bahan bakunya tak ada lagi ataupun tenaga
ahlinya sudah uzur, sedangkan generasi muda tidak tertarik menekuni usaha ini?
Atau bisa jadi biaya produksinya terlalu tinggi karena prosesnya memakan waktu
lama sehingga tidak sesuai dengan omset penjualan?
Pemerintah, melalui instansi terkait, perlu
melakukan pembinaan kontinyu terhadap home industry yang pernah tenar namanya
ini sebagai penghasil oleh-oleh khas daerah.
Sangat disayangkan di saat orang sedang semangatnya
memproduksi, dan mentradisikan berbagai makanan tradisionil sebagai
oleh-oleh khas daerah, disaat itu pula pisang sale Lhok Nibong yang pernah mencuhu dan berasap keluar
daerah semakin sulit di dapat di
pasaran.
Sudah selayaknya kita produksi kembali pisang salai
dalam jumlah besar, karena jenis makanan ini sudah langka, susah didapat di
pasar, sedangkan peminatnya saya yakin masih banyak. Oleh karenanya, warisan
ini perlu dilestarikan, produsen pisang salai perlu diberdayakan, dan
produksinya jangan sampai hilang di pasaran.
Sebagai penutup tulisan ini, saya teringat sepenggal
lagu yang pernah populer dinyanyikan anak-anak pada era ‘80-an dulu: Pisang
sale, hai Cut, mangat-mangat. Saboh tapajoh meurasa troe pruet....
Akhirnya, selamat Idulfitri, mohon maaf lahir dan
batin
Penulis : Zulkifli
Cerita
ini pernah tanyang di https://aceh.tribunnews.com
tanggal 17/06/2019/dengan judul Redupnya celoteh penjaja pisang salai di Lhokseumawe
